Date

Ketika keluar dari pintu kelas, Wina langsung menemukan gadis cantik nan tinggi yang sedang bersandar di balkon sambil memainkan hpnya, siapa lagi kalo bukan Karin.

Wina mengendap-endap kemudian memegang pundak Karin, sama seperti yang Karin lakukan saat pertama kali mereka berinteraksi. Dan sama seperti Wina, Karin juga hampir menonjok pelaku yang memegang pundaknya itu. Untung aja sang pelaku, aka Wina, menghindar.

“Aih, iseng.” ujar Karin. Wina hanya tertawa.

Selama beberapa saat, mereka saling tersenyum menatap satu sama lain. Kemudian Karin membuka mulut, “Udah siap?”

Wina menjawabnya dengan memberi anggukan semangat.


Seperti biasa, Karin membawa mobil. Saat masuk mobil, Wina notice kalo kursi belakang mobil Karin dilipat. Ia ingin bertanya alasannya, tapi takut dikira terlalu ngurusin. Jadi ia mengurungkan niatnya.

Selama perjalanan, obrolan terus mengalir. Mereka berbicara tentang banyak hal. Mulai dari proker yang sedang mereka kerjakan, perkuliahan, hingga hal personal.

Wina bertanya, “Kak, kita mau kemana?”

Karin hanya tersenyum. Ia meraih tangan kanan Wina, kemudian menggenggamnya. Ibu jarinya mengelus punggung tangan Wina.

Karin menoleh sesaat, berkata, “You'll see.

Tangannya digenggam dan dielus. Ditatap. Disenyumin. Dan suara Karin saat berbicara… Wina bisa gila.

Setelah itu, Wina pun hanya bisa terdiam. Berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup sangat kencang.


Mereka sampai di salah satu mall ternama di Jakarta. Karin memarkirkan mobilnya di parkiran lantai atas, tempatnya seperti rooftop tapi banyak mobil-mobil yang parkir.

Karin membukakan pintu untuk Wina, kemudian mereka berjalan bersama memasuki mall dengan tangan yang saling bertaut.

“Wina mau makan apa? Aku yang jajanin.” tanya Karin.

“Umm… Terserah Kakak, deh.”

Karin terkekeh. “Jah… Dasar cewek, terserah mulu.”

Wina pura-pura ngambek. “Kan Kakak cewek juga!”

Akhirnya mereka memutuskan untuk membeli burger di salah satu restoran.

Wina kira, mereka akan dine in, makan disini. Tapi ternyata perkiraan Wina salah. Karin malah meminta pesanannya untuk di take away.

“Loh, Kak? Ga makan disini?” tanya Wina bingung.

Karin hanya tersenyum, kemudian berkata, “You'll see.

Wina hanya menurut.

Setelahnya, mereka sempat membeli boba terlebih dahulu. Kemudian Karin menuntun Wina ke tempat yang ia maksud.

Dan tempat yang ia maksud adalah… Parkiran?

“Kak, ini kita langsung pulang apa gimana?” tanya Wina lagi. Ia sungguh bingung.

“Ya enggak lah. Ngapain aku ngajak kamu jalan kalo gitu? Nih pegangin dulu.” Karin memberikan belanjaan barusan kepada Wina.

Gadis yang lebih tua membuka kunci mobilnya, kemudian bergegas ke bagasi. Membuka pintunya, sehingga terlihat bagian dalam mobil yang tempat duduknya udah di lipat. Ia mengambil selimut dan bantal-bantal yang dia umpetin sebelumnya, kemudian menatanya. Hingga menjadi tempat yang nyaman untuk ditempati.

Wina menghampiri Karin, kemudian memperhatikannya.

Oh… Ternyata…

“Dah, nih. Silahkan masuk, Yang Mulia.” ucap Karin seraya sedikit menunduk layaknya pelayan terhadap ratunya.

Wina perlahan masuk dan duduk di dalam mobil Karin yang sudah beralaskan selimut dan dipenuhi bantal. Terlukis senyum di bibirnya.

Setelah Wina masuk, Karin pun ikut masuk dan duduk di sebelahnya.

Karin mengambil makanan dan minuman yang telah dibeli barusan, kemudian membukanya dan memberikannya pada Wina dulu, baru dirinya.

Mereka sama-sama terduduk di bagasi mobil, memakan makanannya sambil menatap view di hadapannya, yaitu gedung-gedung yang menjulang dan jalanan yang dipenuhi kendaraan.

“Wina.”

Yang dipanggil langsung menoleh, “Iya, Kak?”

“Maaf ya, kalo date-nya cuma gini doang.” ucap Karin.

Mendengar kata date, mata Wina membulat. “D-date?

“Loh, kamu emang gama-”

“G-gagitu! Aku mau! Aku malah seneng kalo ini date, tapi Kakak ga bilang sebelumnya gitu…” sergah Wina.

Karin tertawa kecil. “Well, it's a date, then.

Pipi Wina merona, ia menunduk agar tidak terlalu kelihatan.

Kemudian, Wina teringat apa yang Karin ucapkan, “Eh, Kak. Engga kok, date-nya ngga 'cuma gini doang' kaya yang Kakak bilang barusan. Jujur, aku seneng.” ujar Wina. Karin tersenyum.

Wina kembali bicara, “Aku suka tempat sepi kaya gini, apalagi rooftop. Suka aja gitu, liat pemandangan jalanan dari tempat tinggi. Terutama, kalo ditemenin sama orang yang aku suka, lagi.”

“Kamu suka aku?”

Mata Wina membulat. Ia tak sadar jika dirinya telah berkata seperti itu sebelumnya.

“E-eh, m-maksudnya-”

Dengan senyum manis dan netra yang benar-benar melihat ke wajah Wina, Karin berucap, “Aku juga suka kamu, Wina.”

Wina ingin lompat aja rasanya.