I love you, but...

Winter bohong. Charger miliknya masih ada di kamarnya sendiri, itu hanyalah sebuah alasan agar ia bisa mencari Karina di kamar sebelah.

Ketika Winter masuk ke kamar Ningning dan Karina, terlihat Ningning yang sudah rapi, bersiap untuk pergi. “Buru ambil charger di meja, abis itu pergi! Gue itung sampe 5!” ucap Ningning.

Winter baru saja membuka mulut untuk protes, tapi Ningning keburu berbicara lagi dengan terburu-buru, “Duh gue udah diterror. Yaudah lu ambil gih buru! Pokoknya abis itu langsung keluar! Oh iya, jangan ke kamar mandi!” kemudian mengangkat telpon yang terus berdering.

“Iya, Pak. Mohon maaf, saya sedang terjebak macet.” Ningning menjawab telepon sambil tergesa-gesa menuju pintu, kemudian menutup pintunya. Meninggalkan Winter di kamar.

Emang kenapa gaboleh ke kamar mandi? pikir Winter. Namun ia tak ambil pusing, mengangkat bahu tidak peduli.

Karena Ningning pergi dan Winter juga tidak melihat Karina di kamarnya, ia kembali beranjak menuju pintu. Namun, saat ia memutar knop, pintunya tidak bisa dibuka. Winter terkunci.

“Anjir… Si bangsat, ngunciin gua.” gumam Winter.

Winter tidak bisa keluar kamar. Akhirnya ia pun terduduk di kasur Karina, sambil memainkan Mbul, yaitu boneka beruang Karina yang gembul.

Beberapa saat kemudian, Winter mendengar suara tangisan dari kamar mandi. Mata Winter membulat. “Anjir… Itu hantu? Atau jangan-jangan, Ningning nyulik orang, makanya gue gaboleh ke kamar mandi?!” gumamnya.

Winter mengendap-endap menuju kamar mandi. Suara tangisannya makin kedengeran. Ia bergidik ngeri. Namun, saat mengintip dari bagian bawah pintu, ia mengelus dada lega karena melihat kaki yang menapak.

“Eh anjir, kalo itu bukan hantu… Berarti korban penculikan Ningning?!”

Winter berusaha membuka pintu kamar mandinya, tetapi ternyata terkunci. Winter berseru, “Hey! Korban Ningning! Sabar, gue coba dobrak!”

Mendengar suara Winter, tangisannya langsung berhenti. Sebelum orang yang menangis itu mencegah Winter, pintu udah terbuka duluan. Winter menggunakan seluruh tenaganya untuk mendobrak pintu tersebut.

Ketika pintu terbuka, Winter terkejut.

“Loh, Kayin?”

Perempuan yang disebut namanya menatap Winter sesaat, kemudian kembali menunduk, menangis. Ia sedang terduduk di toilet duduk sambil menangis.

Winter bergegas menghampiri Karina, kemudian berlutut di hadapannya. Ia menatap sahabatnya yang menangis.

“Lo nangis kenapa, Kay? Tell me.” tanya Winter, tangannya menggenggam tangan Karina yang berada di pangkuan gadis tersebut. Ibu jari Winter mengelus punggung tangan yang dipegangnya.

Karina masih terisak. Ia hanya menjawab pertanyaan Winter dengan gelengan.

“Siapa yang nyakitin lo? Bilang gue, ntar gue kasih pelajaran tu orang.” tanya Winter lagi. Matanya menatap Karina penuh harap, berharap gadis yang menangis itu menjawab pertanyaannya.

Namun, yang ia dapat hanya suara tangisan Karina yang semakin mengeras. Air mata yang jatuh makin deras. Karina masih menutup mulutnya rapat.

“Kay... Udah ya, nangisnya? Ayo senyum, lo lebih cantik kalo lagi senyum, tau, Kay.”

Tangan Winter meraih pipi Karina, berusaha menghapus air mata yang terus mengalir dengan deras. Namun, Karina menepis tangan Winter.

Karina akhirnya membuka mulut, nada bicaranya dingin. “Gausah perhatian sampe kaya gitu, kalo lo ga sayang sama gue.”

Winter sedikit mundur. Ia terkejut.

What are you saying? Jelas, gue sayang lo, Kay. Kenapa sih?” Winter berusaha memegang tangan Karina lagi, tapi Karina tepis lagi.

Karina menghela napas, kemudian berkata, “But not in that way.

Winter menautkan alisnya, bingung. “What do you mean?

“Gak kaya rasa sayang gue ke lo.”

“Maksud-”

“Gue sayang lo, Winter. Lebih dari sahabat.”

Winter terdiam. Matanya yang tadinya menatap Karina, beralih menjadi menatap lantai. Ia termenung.

Kayin sayang gue? Lebih dari sahabat?

Suasana kamar mandi menjadi hening. Hanya terdengar deru napas Winter dan isakan tangis Karina.

Setelah terdiam beberapa saat, Winter kembali menatap Karina seraya bertanya, “Sejak kapan? Kenapa ga bilang dari dulu?”

Mendengar pertanyaan Winter, Karina tertawa getir. Dilanjutkan dengan, “Emang lo pernah, seenggaknya, suka sama gue?”

Winter mengalihkan pandangan, terdiam.

Exactly.” Karina tertawa getir lagi.

Winter akhirnya membuka mulut, “I mean, I could-

Karina memutar bola mata. “No, Winter. I know. You never see me the way I see you. It's very clear. Selain itu, I don't wanna ruin our friendship. I don't wanna lose you, 'cause I need you, Win. That's why, I never told you.” jelas Karina. Ia menarik napas panjang, kemudian melanjutkan, “Tapi, semenjak liat lo dan Minju… I can't bear with these feelings anymore, Win. I've been hurting. So much.

Secara tidak sadar, setelah mendengar penjelasan Karina, air mata ikut jatuh dari mata Winter.

“Kay… I-I'm sorry-

Don't say sorry. It's not your fault.” ujar Karina.

Terjadi keheningan selama beberapa saat. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Winter yang tak percaya bahwa sahabatnya memiliki perasaan padanya, dan Karina yang tak percaya ia baru saja confess mengenai perasaan yang ia miliki terhadap sahabatnya.

Tak lama kemudian, tangisan Karina telah mereda. Kemudian Ia memberanikan diri untuk bertanya, “Are you happy with her?

Winter yang tadinya menunduk, kembali menatap Karina tepat di matanya. Tetapi ia tidak tahan, melihat mata Karina yang menyiratkan tatapan sedih. Terlebih lagi, dirinya adalah penyebabnya. Akhirnya ia menunduk lagi.

Y-yes, I am...

That's good, then.

I'm sorry-

Did you not hear me? Don't say sorry.” Karina memotong ucapan Winter. Winter pun langsung menutup mulutnya rapat.

Karina mendongak, wajahnya menghadap langit-langit kamar mandi. Menarik napas, serta menghapus air mata di wajahnya dengan kedua tangannya. Menghembuskan napas panjang, ia berkata, “Now that you found out… I think I need some time alone.

Winter langsung kembali menatap Karina. “Kay…”

Karina menunduk, kedua tangannya memegang kepala bagian kanan dan kirinya. “It hurts, Win. Seeing you… It hurts. So bad.

Menghapus air mata yang secara tidak sadar mengalir sejak tadi, Winter akhirnya berkata, “Alright. Take your time.” Winter menghela napas, kemudian melanjutkan lagi, “Just so you know, I'm always here if you need me. I'm still your best friend, right?

Tangisan Karina kembali pecah. Kemudian ia mengangguk dan berucap, “M-makasih, Winter.”

Setelah beberapa saat, mereka berdiri. Karina mengantar Winter keluar. Sebelum Karina menutup pintu, Winter memeluk Karina terlebih dahulu. Tangan Winter mengusap punggung gadis yang sekarang kembali menangis. Ia berbisik, “I know you don't allow me to say this, but, I'm sorry… I'm really sorry for hurting you.

Menit berlalu, Karina pun mendorong Winter, melepaskan pelukannya. Kemudian bergegas menutup pintu di hadapannya.

Setelah itu, Karina beranjak ke kasurnya. Ia terduduk dengan kaki ditekuk dan punggungnya bertemu dengan headboard di belakangnya. Tangannya disilangkan diatas lututnya, kemudian dahinya diposisikan diatasnya.

Karina kembali menangis, dengan air mata yang mengalir lebih deras. Ia sedikit merutuki Ningning yang membiarkan Winter masuk kamarnya, tetapi di sisi lain, ia juga merasa lega karena telah mengutarakan hal yang ia pendam sejak dulu. Meskipun hasilnya tidak sesuai dengan yang ia selalu impikan selama ini.

Memang, kisah seseorang yang memiliki perasaan pada sahabatnya sendiri... Tidak selalu berakhir bahagia.