Istirahat
Bel istirahat berbunyi, siswa-siswi pun berhamburan dari kursinya. Ada yang berkumpul di depan kelas, ada yang berlari ke kantin, ada juga yang menghampiri temannya untuk nyontek tugas.
Kelas X IPA 2 yang tadinya berisik tiba-tiba terdiam karena kemunculan seorang kakak kelas. Seorang kakak kelas itu bernama Karin. Ia hanya berdiri di ambang pintu, tetapi suasana kelas langsung sepi, bahkan beberapa memberhentikan aktivitasnya untuk melihat sang kakak kelas tersebut.
“E-eh… Kok jadi pada diem? Tenang aja, sumpah! Meskipun aku kakak kelas aku ga akan labrak kalian, suwer!” Karin menunjukkan tangannya dengan jari telunjuk dan tengahnya yang mengacung. Penghuni kelas yang tadinya diam pun kembali ke aktivitas masing-masing.
Karin memasuki kelas dan menghampiri Wina yang sedang membereskan tasnya. Wina tertawa kecil, “Gara-gara Kak Karin, jadi pada diem gitu.”
Karin hanya menyengir dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Sambil berjalan, Wina berucap, “Kalo aku yang ke kelas Kakak aja, gimana?”
Mendengar pertanyaan Wina, Karin langsung menggeleng kencang. “Jangan! Bahaya, kalo kamu ke kelasku.”
Wina menaikkan alisnya, “Bahaya kenapa?”
“Nanti pada suka sama kamu.”
Mendengar ucapan Karin, Wina hanya memutar bola mata. Namun, bibirnya melengkung, membentuk senyum.
“Kalo di tangga aja, gimana? Aku tungguin tepat disini,” tanya Karin saat mereka berdua menginjak tangga lantai 4.
Kelas Karin berada di lantai 3, sedangkan kelas Wina berada di lantai 4. Tadi Karin dengan semangat menaiki tangga untuk menghampiri Wina. Ia rela menaiki tangga sebanyak apapun demi menemui gadis mungil bernama Wina ini.
“Tapi, nanti Kak Karin ribet naik turun gitu. Tunggu di lantai 3 juga gak apa-apa, kok,” jawab Wina.
Karin menggeleng lagi. “It's fine, Wina. I don't mind climbing as many stairs just to reach you.“
Selama di kantin, anak-anak sirkel Karin cukup berisik menggoda Karin dan Wina. Anak-anak lain juga banyak yang memperhatikan mereka, karena memang Karin adalah siswi yang famous disini. Karin tidak ingin Wina merasa risih jadi Ia membawanya ke tempat yang lebih sepi.
Karin membawa Wina ke taman sekolah. Di taman itu terdapat tempat duduk dan meja, dibuat dari semen sehingga keras seperti batu dan permukaannya dipoles dan dicat sehingga tempat itu halus dan bersih.
“Kak, ini gapapa mangkoknya kita bawa gini?” tanya Wina sambil mengangkat mangkok mie ayam miliknya.
Karin terkekeh, lalu berkata, “Aku udah kenal sama abangnya kok. Lagian kita bawa kesini doang.”
Wina hanya mengangguk.
“Kecuali… Kalo kamu bawa mangkoknya ke rumah. Kamu mau bawa pulang tu mangkok, ya? Ngaku!”
Wina terbahak lalu memukul Karin pelan. “Ya enggak lah, Kak!”
Mereka sempat tertawa, dan setelah tawanya mereda, mereka mulai makan dengan nyaman di tempat yang sepi ini. Hanya ada Karin dan Wina.
Selama istirahat, mereka sempat mengobrol banyak hal, saling mengenal satu sama lain dengan lebih baik lagi. Senyuman pun sepertinya tertato secara permanen di bibir Karin setiap dirinya bersama Wina.