Karin's Realization
Tak lama setelah Kayra pergi, Wina datang ke kediaman keluarga Dinata.
Karin menyambutnya dengan cengiran lebar dan pelukan. Wina hanya tertawa kecil dan membalas pelukannya. Mereka sama-sama anggota tim basket, jadi sudah kenal. Tapi sebenarnya Karin dan Wina tidak terlalu dekat, emang Karin aja yang super touchy dan friendly jadi main peluk-peluk aja.
Setelah semuanya siap, Karin mengajak Wina ke dapur, tempat mereka memasak.
“Mau masak apa, Kay?” tanya Wina, matanya melihat-lihat seisi dapur keluarga Dinata.
“Gue sih beli bahan buat fettucini carbonara, Win.” jawab Karin, tangannya merapikan bahan-bahan di meja dapur.
“Oh, itumah gampang!” tukas Wina.
Karin memutar bola mata. “Gampang gampang pala lu peyang”
Karin membawa dua apron dan memberi yang satunya pada Wina.
“Ya ampun… Pake apron segala.” ujar Wina seraya memakai apron tersebut.
“Iyalah, biar kaya Masterchef.” ucapan Karin sukses membuat Wina tertawa. “Gak deh. Biar ga kotor, elah. Sayang bajunya ntar.”
Karin sedikit kesusahan saat mengikat tali apron di belakangnya. Saat Karin struggle seperti itu, kedua tangan lain bersentuhan dengan tangannya, membantu dirinya mengikat tali tersebut. Secara tak sadar, senyum kecil terlukis di wajah Karin.
Sekarang Karin sedang memotong sosis. Rambut panjangnya masih menjuntai, bahkan menutupi sebagian wajahnya.
“Kay, rambut lo kan panjang terus baday banget nih. Kalo lagi masak tuh dikuncir gitu kek.” tukas Wina.
“E-eh iya. Maap, lupa.”
Saat Karin hendak menguncir rambutnya, ia tersadar bahwa tangannya kotor. Ia memutuskan untuk cuci tangan dulu, tapi Wina keburu menahannya. Wina mengambil kunciran yang berada di pergelangan tangan Karin dan mulai menguncir rambut lebat gadis tersebut.
“Gue aja yang kuncirin, mumpung tangannya masih bersih. Lanjut lagi, gih.” ujar Wina.
Secara tak sadar, Karin tersenyum lagi. Dan secara tak sadar juga, jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Terutama saat tangan Wina tidak sengaja mengenai lehernya, bulu kuduk Karin berdiri.
Mereka menghabiskan siang itu dengan memasak sambil bercanda dan tertawa. Tak lupa, Karin memutar lagu agar suasananya makin ramai. Senyum hampir tidak pernah hilang dari bibir Karin.
Hari sudah mulai malam, temen-temen Karin pun sudah pada pulang. Karin sedang mencuci piring sambil menggumamkan lagu secara random. Saat sedang asik, tiba-tiba ada kedua tangan dari samping, memegang kedua lengan Karin. Gadis yang lengannya dipegang itupun sontak menengok untuk melihat pelakunya.
“Loh, Wina? Belom pulang?” tanya Karin. Wina hanya membalas dengan gelengan, ditambah kekehan kecil.
“Udah, gue aja yang nyuci, Kay.” ujar Wina. Ia mengambil handuk dan mengelap tangan Karin yang ia pegang barusan, kemudian menggeser tubuh Karin dan menggantikan posisinya.
“Dih, enggak, Win. Ini kan rumah gu-”
“Gapapa. Lo beresin ruang tengah aja, gih. Urusan gampang, cuci piring mah.” ucap Wina.
“Tapi Win-”
Wina menatap Karin tepat di matanya. Mengulas senyum, kemudian berkata, “Gue aja, Kayin. Lo beresin yang lain aja.”
Karin seperti terhipnotis. Setelah Wina berkata seperti itu ia langsung menurutinya, membalikkan badan dan berjalan menuju ruang tengah.
Sampai di ruang tengah, Karin terduduk di sofa. Tiba-tiba ia merasakan rahangnya yang sedikit pegal, kemudian tersadar jika ia menyengir sejak tadi.
“Anjir, kok gue nyengir…” ucapnya pada dirinya sendiri sambil memegang rahangnya.
Kemudian ia juga merasakan jantungnya berdegup lebih kencang, tangannya ditempatkan di dadanya sehingga ia benar-benar merasakan jantungnya yang berdegup-degup.
“Anjir, kok gue deg-degan…”
Karin merebahkan tubuhnya di sandaran sofa. Kemudian menutup mata. Saat ia menutup mata, bayang-bayang seorang gadis tiba-tiba muncul di pikirannya. Ia pun langsung membuka matanya, duduk tegak, dan menutup mulutnya tidak percaya. Ia baru saja menyadari sesuatu.
“Apa jangan-jangan gue suka sama Wina?!”