Kucing, Ayunan, dan Taman
Sabtu sore. Karina dan Winter sudah janji untuk jalan-jalan di taman dekat rumah Karina, alias nge-date setelah resmi pacaran.
Mamah Taeng mengantar Winter ke rumah Karina, dan sekalian mau hang out dengan Bunda Irene juga. Tadinya kedua ibu tersebut mau nganter anak-anaknya ke taman, tapi Karina menolak. Katanya ia mau berduaan sama Winter aja. Padahal aslinya karena dua bocil itu mau pacaran. Mamah Taeng dan Bunda Irene pun menuruti, dengan Mamah Taeng yang berusaha keras menahan dirinya agar tidak menggoda dua bocil yang udah pacaran itu.
Karina dan Winter berjalan berdua, dengan tangan yang saling bertaut. Senyum terlukis di bibir mereka, kupu-kupu pun rasanya berterbangan di perut masing-masing. Winter sesekali melontarkan candaan dan menengok, melihat Karina-nya yang terus menunduk dengan senyum malu di bibirnya.
“Rina, liat ada kucing!” seru Winter antusias, kemudian berlari sambil menarik Karina ikut dengannya.
Winter berjongkok untuk melihat kucingnya lebih dekat. Kucingnya lumayan mungil, bulunya berwarna kuning tua. Meskipun itu kucing liar, tapi warga komplek rumah Karina merawatnya, sehingga kucingnya bersih dan terlihat sehat.
Karina ikut berjongkok, kemudian mengelus kucing mungil di hadapannya. “Ini kucing yang suka Rina liat tiap pulang sekolah. Rina juga suka kasih makan, terus Rina namain kucingnya Winnie.”
Winter tersenyum lebar. “Winnie? Kenapa namanya Winnie?”
Karina termenung sesaat. Karena diambil dari bagian nama Winter… Win. Ditambah Nie., ucap Karina dalam hati.
Karena Karina tidak kunjung menjawab, Winter bertanya lagi, “Rina?”
Karina pun tersadar dari lamunannya. Ia memberi alasan, “Uh-uhm… Karena… W-warnanya mirip warna W-winnie The Pooh. Kuning tua.”
Winter pun mengangguk-angguk. Kemudian menjulurkan tangannya dan mulai mengelus kucing tersebut.
“Hai Winnie! Winnie gemes!” ujar Winter.
Pada awalnya, Karina tersenyum melihat pacarnya yang bermain dengan kucing. Tapi lama kelamaan, Karina sedikit khawatir akan Winnie karena Winter ngelusnya full power, ngegas.
Tangan Winter yang bermain dengan Winnie bergerak semakin cepat dan kencang, dan puncaknya, Winter berseru, “MIAAAWW!”
Winnie si kucing pun takut, kemudian kabur, berlari menjauh dari hadapan kedua bocil tersebut.
“Winnie…” ucap Winter sedih.
Sedangkan Karina, ia hanya bisa melongo sambil menatap kepergian Winnie.
Winter menoleh, menatap wajah Karina kemudian berkata, “Winnie pergi…”
Karina pun menoleh juga, mata mereka bertemu. “Ya iya… Winter ngegas banget.”
“Winter kegemesan!!”
“Tapi kalo Winter begitu, nanti Winnie sama kucing lain bakal takut sama Winter.” ucap Karina.
Winter menunduk, “Maafin Winter.”
“Gapapa.”
Karina berdiri, menjulurkan tangannya di depan Winter. Winter yang melihat itu pun meraih tangan Karina dengan tangannya, ikut beranjak berdiri. Karina menuntun Winter ke ayunan besi yang tempat duduknya berhadapan.
Karina terduduk di ayunan tersebut, dan Winter duduk di hadapannya. Karina merapatkan kedua pahanya dan menempatkan kedua sikunya di atas kedua pahanya. Kedua tangannya tersebut digunakan untuk menopang wajahnya.
Setelah berhasil sedikit mengayunkan ayunan tersebut, Winter melakukan hal yang sama dengan Karina barusan, sehingga jarak diantara wajah mereka terlalu dekat. Karina terkejut, karena wajah Winter benar-benar di depan wajahnya. Secara spontan, ia sedikit menunduk dan menutupi wajahnya.
Salah satu tangan Winter memegang lengan Karina, kemudian berkata, “Rina, mukanya jangan di tutupin.”
Mendengar itu, Karina mendongak dan sedikit demi sedikit membuka wajahnya, matanya menatap Winter.
“Nah, gitu dong. Mukanya ga di tutup. Soalnya Rina cantik. Winter suka liatnya.”
Karina pengen kayang aja rasanya.