Two Years Later
Dua tahun berlalu.
Dua tahun semenjak Minjeong membuat Jimin merasakan kupu-kupu diperutnya, tetapi sekaligus menghancurkan hatinya.
Dua tahun semenjak Minjeong pergi dari Jimin untuk selama-lamanya.
Dua tahun berlalu, tetapi Jimin masih merutuki dirinya. Penyesalan yang dirasakan begitu dalam, ia benci pada dirinya yang selalu mendahulukan hal lain dibanding Minjeong pada saat itu.
Dua tahun berlalu, dan Jimin baru mengunjungi pemakaman Minjeong hari ini. Selama dua tahun, ia belum berani mengunjungi Minjeong. Ia merasa bersalah akan perlakuan dirinya pada Minjeong.
Angin berhembus kencang, menyebabkan rambut Jimin yang lebat berkibar mengikuti arah angin. Cuaca hari ini seperti mendukung suasana hati Jimin. Langitnya mendung, hampir gelap. Tetes-tetes air berjatuhan, tetapi Jimin tidak peduli. Ia ingin menemui Minjeong.
Jimin terduduk di atas gundukan tanah didekat batu nisan bertuliskan 'Kim Minjeong'. Hanya dengan menatap tulisan itu, air mata Jimin sudah jatuh.
Tangan Jimin meraih batu nisan tersebut, memegangnya. Kemudian setelah beberapa saat, ia membuka suara.
“Minjeongie.”
Rasanya telah lama sekali semenjak ia menyebutkan nama itu secara lantang. Air mata Jimin masih terus jatuh dengan deras.
“Minjeongie… Jimin kangen.” ucapnya.
Selama beberapa menit, keheningan menyelimuti. Tetes-tetes air dari langit masih berjatuhan, membasahi apapun yang ada di bawahnya, termasuk Jimin. Rambut dan bajunya mulai basah.
“Minjeong.. Aku mau minta maaf. Aku minta maaf baru bisa kesini sekarang. Aku merasa bersalah, Jeongie. Aku merasa… Aku ga deserve buat nunjukkin muka aku di hadapan kamu.” ucap Jimin sambil terisak.
“Minjeong… Aku juga mau minta maaf buat perlakuan aku ke kamu, yang selalu ngedahuluin hal lain dibanding kamu. Kamu bener, apa susahnya sih buka playlist? Lima menit aja ga nyampe. Aku emang bangsat banget. Aku bener-bener nyesel. Senyesel itu. Bahkan kalo ditanya apa penyesalan terbesarku, aku bakal jawab itu.” ujar Jimin dengan air mata yang masih jatuh dengan deras, ditambah dengan air hujan yang jatuh ke wajahnya.
Jimin menarik napas dalam, kemudian berkata, “Minjeong, aku juga mau minta maaf, aku ga langsung dengerin lagu-lagu yang kamu kasih pas itu. Tapi kamu tau ga? Aku masukin lagu-lagu yang kamu kasih ke dalem satu playlist, dan aku selalu denger playlist itu tiap hari. Terutama disaat aku kangen sama kamu. Tiap denger itu, rasanya kaya kamu masih ada di sisi aku, Jeong.”
Setelah hening selama beberapa saat, Jimin kembali bicara, “Oh iya, Jeong. Kamu penasaran ga sama jawaban aku buat playlist kamu? Jawabannya iya, Jeong. Aku juga sayang kamu, dan aku mau jadi pacar kamu, Minjeong.” Jimin tersenyum, tetapi hatinya berkata lain. Hati Jimin seperti ditusuk-tusuk, rasanya sakit. Kemudian ia melanjutkan, “Bahkan sampe sekarang, aku masih sayang kamu, Jeong. Aku udah coba sama orang lain, tapi gagal terus. Padahal kamu udah gaada, tapi kok masih ada aja ya di pikiranku? Di hatiku juga, hati aku masih tetep milik kamu seutuhnya. Padahal aku masih bukan siapa-siapanya kamu, ya?” Jimin tertawa getir.
Hujan semakin deras, tetapi Jimin tidak peduli. Seluruh tubuh Jimin sudah basah. Air matanya sudah bercampur dengan air hujan.
Jimin mendekat ke arah batu nisan Minjeong, kemudian memeluknya. Jimin tidak peduli akan tatapan orang lain jika ada yang melihatnya. Ia sangat merindukan Minjeong.
“Dua tahun berlalu, dan aku masih sayang kamu, Minjeong.”