UTS — Day Four.
Mata pelajaran UTS pagi ini adalah Matematika, pelajaran yang Bening benci. Kebalikan dari Dwina, siswi itu justru pintar dalam Matematika. Bening sangat bersyukur karena Dwina duduk tepat di belakangnya, jadi nyonteknya gampang nanti.
Ujian pertama dimulai. Baru juga 15 menit, Bening sudah frustasi.
“Kerjain dari belakang aja, kali, ya …” gumam Bening.
Bening pun membuka kertas terakhir, melihat nomor 40. Wah, bisa, nih. Akhirnya Ia mengerjakan nomor terakhir itu.
Pada nomor 36, Bening kembali stuck.
Mau dari depan, dari belakang, semuanya sama-sama susah, bangsaaaat, keluh Bening dalam hati.
Bening pun duduk bersandar di bangkunya, sedikit menengok ke arah Dwina. “Psst, Dwin!”
Dwina mendongak, “Nomor berapa?”
“Nomor 36, dong,” bisik Bening.
Dwina menatap Bening aneh. “Kok cepet banget?!”
“Gue ngerjain dari belakang.”
“Si anjir, gue baru nomor 10.”
“Yaudah, mau liat semua dong.”
“Ngelunjak ya, anjing.”
Bening memberi Dwina wajah memelasnya, seraya berbisik, “Dwina …”
Dwina menghela napas. Lalu berkata, “Ya udah, 1-5. Denger yang bener, oke? Ga ada pengulangan.”
“Buset.”
“Take it or leave it!“
“Iya, iya.”
“1-5, A B D A A.”
“Makasih, Dwina!” seru Bening senang.
Ketika Bening ingin bertanya lagi, Ia melihat mata pengawas sedang mengarah padanya. Akhirnya, Ia pun mengurungkan niatnya.
Kebalikan dari Bening yang kesulitan, Gisya sangat santai pagi ini. Mata pelajarannya adalah Bahasa Inggris, mata pelajaran yang mudah, menurutnya.
Gisya melirik Bening yang sedang gelisah, lalu mendekat dan berbisik, “Pelajaran apa?”
“Mtk, Kak.”
“Coba liat, sini.”
Bening menggeleng pelan. “Eh, Kak. Ga usah, gapapa. Ntar ngerepotin-”
Gisya mengambil soal Bening dari genggamannya. “Santai aja, ujian aku gampang hari ini, Bahasa Inggris. … Oh, ini mah gampang, Ning. Aku bisa, nih.”
Beberapa menit selanjutnya, Gisya mengerjakan soal Bening, lengkap dengan cara mendapatkan jawabannya yang ditulis di kertas coret-coretan. Daripada gabut, Bening pun ijin melihat soal Bahasa Inggris Gisya, lalu membantu mengerjakan beberapa nomor juga.
Begitu bel pulang berbunyi, Bening menahan Gisya terlebih dahulu. Gisya mengangkat alisnya, “Kenapa, Bening?”
Bening berdeham, lalu berkata, “Makasih udah bantu aku hari ini, Kak Gi,” ucap Bening sambil mengambil tangan Gisya dan menempatkan dua buah permen Kis di telapak tangannya.
Gisya tersenyum, melihat permen itu. Saat sedang memperhatikan permennya, Ia melihat ada tulisan di bagian belakangnya. Gisya pun membaca tulisan itu, “Kamu cantik deh. Jadian yuk.”
Wajah Bening memerah. Ia benar-benar lupa jika permen Kis memiliki tulisan-tulisan gombal di bagian belakangnya.
Gisya tersenyum miring, “Maksudnya … kamu mau ngajak aku jadian, Ning?”
Bening salah tingkah. Wajahnya memerah, jantungnya berdegup dengan sangat kencang. “E-engga g-gitu, Kak! Aku ga ngeh-”
Gisya tertawa terbahak-bahak. “Aku becanda, Bening. Kamu lucu banget.”
Setelah mengucapkan kalimat itu, Gisya langsung berlari keluar. Meninggalkan Bening yang terdiam membeku.
Dwina dan Runi yang sedari tadi memperhatikan mereka, langsung pura-pura batuk-batuk “ahem, ahem. uhuk! uhuk! cie” untuk menggoda Bening.
Bening melotot, “Gue cetak BH lu, yak!”