UTS — Day One.

Hari pertama Ujian Tengah Semester.

Sebelumnya, Dwina mengatakan bahwa kelas yang menjadi ruangan ujian mereka itu gerah, makanya Bening membawa portable fan. Bel masuk telah berbunyi, seluruh siswa sedang duduk di bangku masing-masing, menunggu pengawas masuk.

Bening (bersama Algisya) duduk di meja pojok, dekat tembok, di barisan kedua. Di depannya ada Arunika, atau yang kerap disapa Runi, bersama seorang lelaki di sebelahnya. Sedangkan, di belakang Bening ada Dwinasya, atau Dwina, yang duduk bersama kakak kelas cantik bernama Kalenia. Bening sangat bersyukur karena Ia duduk dekat sahabat-sahabatnya, jadi kan gampang nyonteknya ntar (loh).

Algisya, atau yang kerap disapa Gisya, duduk di sebelah Bening. Setelah melihat gadis itu pertama kali, menurut Bening, Gisya merupakan gadis yang cantik, dan sejauh ini, orangnya keliatan kalem. Bening bertanya-tanya, kok bisa ya Kak Gisya ga famous? Padahal cantik banget. Dan temenan sama Kak Kale yang famous. Apa mungkin karena dia anaknya kalem, ya?

Dari ekor mata Bening, Ia melihat Gisya yang beberapa kali mengipas-ngipas dengan tangannya, juga melonggarkan kerah bajunya. Pasti Ia kegerahan. Maka dari itu, Bening yang tadinya memegang portable fan miliknya ke arah lehernya, menempatkan portable fan itu di meja, di tengah-tengah, antara Bening dan Gisya. Gisya yang merasakan sedikit angin yg tertiup ke arahnya menoleh, dan melihat portable fan yang berada di tengah meja.

Bening membuka suara, “Kerasa gak, Kak?”

Gisya tersenyum, sedikit mengangguk lalu menjawab, “Mayan, kok. Makasih, ya.”

Bening tersenyum lebar, lalu kembali duduk menatap ke depan.

Pengawas telah masuk dan membagikan lembar jawaban. Bening mulai mengisi bulatan-bulatan untuk melengkapi identitasnya di lembar jawaban tersebut. Sedangkan, Gisya sedang panik. Ia baru ingat, kalo Ia lupa membawa tempat pensil. Gimana cara nulisnya?!

Gisya membalikkan badannya untuk menatap Kale. “Kal … Ada pensil gak?” tanya Gisya memelas.

Kale yang sedang sibuk menulis pun mendongak, lalu menjawab, “Yah, Gis. Mana ada … Kan lo tau, gue tiap ujian bawanya ngepas, buat gue sendiri doang. Kenapa emang?”

“Gue lupa bawa tempat pensil gue, anjir. Pasti lupa gue pindahin dari tas gue yang biasa-”

“Lu, sih. Kebanyakan nonton anime jadi lupa kan lu, Wibu,” ejek Kale.

“Ada apa ribut-ribut disana?” tiba-tiba suara pengawas terdengar, dan matanya menatap ke arah Gisya dan Kale. Gisya pun langsung berbalik badan lagi. Ia menghela napas.

Setelah duduk menghadap ke depan, Gisya mendengar suara Bening berbisik, “Kakak ga bawa pensil?”

Gisya menggeleng.

“Aku ada, Kak. Nih, pilih aja di tempat pensilku,” ujar Bening, menyodorkan tempat pensil super lengkapnya.

Saat memegang tempat pensil Bening, Gisya terperangah. “Woah … Lengkap banget.”

Bening terkekeh. “Iya, hahaha. Temen-temenku nyebut aku Gramedia berjalan. Suka pada minjem juga.”

“Gramedia berjalan,” Gisya ikut terkekeh. “Itu pada minjem, suka pada ilang-ilangan gak?”

“Jarang banget sih, Kak. Soalnya aku ancem, yang ngilangin harus bayar denda ke aku.”

“Waduh.”

Bening tertawa kecil. “Tenang aja, Kak … Kakak pasti ga akan ngilangin alat tulis aku, kan?”

Gisya mengangkat bahu. “Kita ga ada yang tau.”

“Kak …”

Gisya tertawa kecil. Lalu Ia mengambil pensil Faber-Castell 2B yang masih runcing, pasti baru diraut. “Aku pinjem yang ini, ya.”

“Okay, Kak.”

Gisya tersenyum, “Makasih, ya … Ayesha?”

“Panggil aku Bening aja, Kak Algisya.”

“Oke, Bening. Dan panggil aku Gisya aja, ya.”

“Okay, Kak Gisya.”


UTS hari pertama telah selesai. Siswa-siswi sedang sibuk merapikan barang-barang mereka, bersiap untuk pulang.

Bening yang telah selesai merapikan barangnya pun kembali duduk di bangkunya. Kemudian Ia mendengar suara Gisya bertanya, “Kamu suka Nextar, gak?”

Bening mengangguk, “Suka, Kak.”

Gisya menyodorkan sebungkus Nextar pada Bening, lalu bertanya, “Mau?”

Bening menjawab, “Ga usah, gapapa, Kak. Makasih, Kak.” sambil tersenyum.

Gisya cemberut. “Tapi kamu harus mau.”

Bening menautkan alisnya.

“Karena aku beliin buat kamu.”

Gisya meraih tangan Bening lalu menempatkan Nextar tersebut disana. Bening hanya bisa diam membeku, jantungnya berdegup kencang.

“Makasih, ya, Bening. Udah mau minjemin kipas dan alat tulisnya. Maaf kalo aku ngerepotin,” ucap Gisya sambil menyengir.

Bening baru saja ingin menjawab ucapan Gisya, tetapi kakak kelas itu keburu melangkah pergi, sedikit berlari, begitu bel pulang berbunyi.

Setelah Gisya menghilang dari arah pandang Bening, Bening hanya bisa menatap Nextar yang diberikan Gisya, dengan senyum lebar yang terlukis di bibirnya.