aetrocious

Ketika anak OSIS mengirimkan surat, Gisya sedang berada di depan kelas bersama teman-temannya.

“Permisi, kak Algisya Arsella? Dapet kiriman surat, nih,” ujar si anak OSIS yang bertugas mengirimkan surat. Gisya terkejut, dia tidak mengira akan mendapat surat sama sekali, karena dirinya bisa dibilang tidak famous, dan kerjaannya ngedokem di kelas. Tidak seperti temannya, Kale, yang dikenal seantero sekolah, sehingga mendapat belasan surat dari tadi.

Gisya pun menerima surat tersebut dan mengucapkan terimakasih pada anak OSIS tersebut. Teman-teman Gisya bersorak, menggoda Gisya. Gisya hanya tertawa malu-malu.

“Ssst, diem lo semua, berisik!” seru Kale si galak. Lalu Kale beralih ke Gisya, dan dengan suara yang lembut Ia berkata, “Buka suratnya, dong, Gis.” Teman-teman Gisya juga mengiyakan permintaan Kale.

Gisya menggeleng. “Gak mau! Surat ini kan buat gue, jadi khusus gue aja yang baca.”

“Yah …” “Woo, Gisya gak asik!”

Gisya hanya tertawa kecil dan beranjak menuju kelas, membawa surat itu di tangannya.


Hai, Kak Gisya!

Kak Gisya apa kabar? First of all, aku mau bilang, makasih udah bikin UTS-ku 1000x lebih menyenangkan, Kak. You probably would guess who I am from here, haha.

Anyway! Second of all, I don't know if the thing I'm about to say would make you feel uncomfortable or not, but hopefully, you wouldn't. But if you do, then, I'm sorry.

I just wanna say this to you, because I can't help it. I don't know if you noticed, but actually, I've been interested in you ever since the first time you gave me Nextar. You're such a kind, smart, chill, and cute person. Not to mention, you're also pretty ^_^

If you're also interested in me … or just, want to be my friend, you can contact me in: 087317261130 :D

Lastly, it was really great to know you! Hoping to get your response, tho :D But if you don't want to respond, that's okay as well, tho… No pressure!

—N.

“Whoa …”

“Ish, males. Kamu kebaikan sama orang, sih. Jadi gampang disukain gitu, kan,” dengus seorang gadis yang sedang menempatkan kepalanya di pundak Gisya. Mereka sedang duduk di kantin, dengan gadis itu ikut membaca surat yang baru saja diterima oleh Gisya.

Gisya bergumam, “Gemes.”

Mendengar hal tersebut, gadis yang tadinya bersandar itu langsung menegakkan kepalanya, menatap Gisya tajam. “Yaudah, sana! Sama si cewek gemes aja itu!”

Gisya tertawa kecil. “Apa, sih? Maksud aku tuh kamu yang gemes. Cemburu gitu.”

“Gak lucu!” gadis itu memalingkan arah, pura-pura marah.

Gisya membalikkan tubuh gadis tersebut, meraih pipinya dan mengelusnya, sambil berkata, “Tenang aja, sih. Aku sukanya cuma sama kamu, Dwina. Sayang, malah.”

Dwina…

Kedua gadis itu tidak tahu, bahwa si pengirim surat sedang berdiri di ambang pintu kantin. Hatinya hancur berkeping-keping, melihat gadis yang Ia sukai ternyata telah berpacaran dengan salah satu sahabatnya. Dan Ia juga tidak mengetahui tentang hal itu sebelumnya.

Bening pun berbalik arah, berjalan ke arah gerbang sekolah untuk pulang. Rasanya campur aduk, Ia marah, kesal, tapi juga sedih.

“Terdapat satu lagi prestasi yang diraih oleh anak-anak kami, yakni berasal dari Winter Kim, Renjun Huang, dan juga Chenle Zhong yang berhasil meraih juara satu dalam lomba cerdas cermat matematika. Selamat, anak-anak! Juga terima kasih atas usaha kalian dalam meraih juara ini. Ibu bangga pada kalian,” ujar sang Ibu Kepala Sekolah yang sedang berdiri di podium.

Para pemenang dipersilahkan untuk maju ke depan untuk sesi dokumentasi dan pemberian hadiah. Karina yang berada di barisan terlihat sangat senang, bahkan melebihi Winter, padahal Winter adalah pemenang lomba tersebut.

Setelah Winter kembali ke barisan, Winter dikerubungi oleh teman-temannya yang ingin mengucapkan selamat dan turut bahagia atas kemenangannya. Karina mendengus, kan Rina juga mau bilang selamat ke Winter!

Saat Karina ingin menghampiri Winter, para siswa keburu diperintahkan untuk kembali ke barisan karena upacara akan dilanjutkan kembali. Akhirnya, Karina pun mengurungkan niatnya untuk melakukan hal itu. Ia mendengus kesal lagi.

Ketika upacara telah selesai, Karina langsung buru-buru menghampiri Winter dan meraih tangannya. Ia menarik Winter untuk berjalan ke toilet. Winter hanya mengikuti.

Mereka telah sampai di toilet, berdiri di depan wastafel. Saat melihat pacarnya yang cemberut, Winter pun bertanya, “Rina kenapa? Kok Rina cemberut?”

Karina menghela napas, “Tadi Rina mau ucapin selamat ke Winter juga, tapi keburu udah disuruh balik ke barisan lagi.”

Winter tersenyum. Ia pun melangkah untuk menghapus jarak antara mereka, lalu memeluk Karina. Secara otomatis, bibir Karina membentuk lengkungan ke atas. Winter berucap, “Rina bisa ucapin sekarang kan?”

Karina mundur, melepaskan pelukan mereka. Ia meraih kedua tangan Winter, menggenggamnya. Lalu berkata, “Winter, selamat ya, udah menang juara satu. Winter keren banget! Tuh kan, Rina bener, Winter pasti juara,” senyum Winter merekah ketika mendengar ucapan pacarnya. Karina melanjutkan dengan mengatakan, “Rina bangga sama Winter. Rina sayang Winter,” sambil menunduk malu.

Winter tersenyum lebar. Ia sangat bahagia. “Winter juga sayang Rina!” ucapnya dengan antusias.

Setelah sesi tatap-tatapan dalam diam selama beberapa menit, Winter memecah keheningan.

“Rina …”

“Iya, Winter?”

Winter cengengesan, seraya berkata, “Katanya, kalo Winter menang, bakal dikasih hadiah lagi.”

Wajah Karina memerah, mengingat hal itu. Karena, hadiah yang dimaksud Karina adalah …

Pipi Winter dicium Rina!, seru Winter kesenengan dalam hati.

Namun, ketika Karina mencium pipi Winter, terdengar suara, “Ayam, ay- Eh, maksudna, Gusti nu Agung! Astaghfirullah!”

Karina pun langsung menjauh dari Winter. Sedangkan, Winter masih bengong karena kesenengan pipinya dicium.

“Astaghfirullah, ini bocil-bocil udah cium-ciuman aja ...” gumam Ibu Sooyoung, guru yang mergokin Karina dan Winter barusan.

Karina menunduk malu. Winter pun akhirnya tersadar dan mendongak, melihat ibu guru yang super tinggi itu.

Ibu Sooyoung berkacak pinggang, lalu berkata, “Karena udah ketauan pacaran di toilet, kalian ibu hukum. Karina sama Winter ga boleh ketemuan di sekolah selama seminggu. Ngerti?”

Mendengar itu, Karina hanya bisa mengangguk pelan. Winter ikut-ikutan mengangguk.

Dengan polosnya, Winter mendekatkan bibirnya ke telinga Karina, niatnya ingin berbisik tapi suaranya kenceng sehingga gurunya masih bisa denger. Ia berkata, “Tenang aja, Rina. Ibu Sooyoung kan ga akan ngeliatin Winter sama Rina terus. Winter sama Rina masih bisa ketemu kok.”

Ibu Sooyoung menepuk jidatnya. “Hehh, Winter … Winter. Ibu denger, ya.”

Winter pun langsung menutup mulut dengan kedua tangannya.

Ibu Sooyoung melanjutkan, “Liat aja, Ibu punya mata-mata dimana-mana. Kalo sampe ketauan ketemu di sekolah, nanti hukumannya Ibu tambahin! Sebulan!”

Karina menggeleng. Winter melongo.

Winter lalu bertanya, “Ibu, kalo di rumah ga boleh ketemu juga? Tapi Winter ga bisa, nanti Winter kangen … Kalo ga ketemu Rina nanti Winter se-”

“Ya … boleh, lah. Kalo di rumah mah, kalian mau pacaran kek, ngapain kek, terserah. Asal jangan di sekolah, oke?” ucap Ibu Sooyoung.

“Oke, Bu …”

Ibu Sooyoung pun meraih tangan Winter dan mengajaknya keluar, “Ayo, Winter. Ibu anter.”

“Karina, langsung ke kelas, ya?”

Karina mengangguk, lalu bergegas keluar.

“Ibu Sooyoung! Winter boleh peluk Rina sekali lagi, gak? Sebelum pisah, Bu …” Winter berusaha meminta dengan wajah memelasnya. Ibu Sooyoung menghela napas, tetapi akhirnya mengiyakan.

Winter berlari kecil, lalu memeluk tubuh Karina. Karina pun membalas pelukannya.

Karina terlihat sedih. Ia berkata, “Winter, maafin Rina, ya? Gara-gara Rina ngasih hadiah itu, jadi kena hukuman ga boleh ketemu di sekolah.”

Winter menggeleng kuat. “Enggak! Winter suka banget sama hadiahnya. Gapapa, nanti kan Winter sama Rina bisa ketemu di rumah. Lagian, cuma seminggu, kan?”

Karina tersenyum kecil, lalu mengangguk.

“Buset, dah … Udah kaya mau pisah negara aja ni dua bocil,” Ibu Sooyoung menggeleng-gelengkan kepalanya, tak habis pikir. Kemudian, Ia melerai Karina dan Winter, seraya berkata, “Udah, udah. Yook, yok, udah bel, anak-anak. Ayo, ke kelas.”

Hari ujian terakhir.

Kalo Bening diminta untuk mendeskripsikan hari ini dalam satu kata, Ia akan mengatakan bittersweet (bukan by Najla, ya). Bening senang, karena UTS akan usai. Tapi juga sedih, karena Ia akan berpisah dengan kakak kelas yang akhir-akhir ini mewarnai harinya, Kak Gisya. Bening tau, Gisya pasti masih akan muncul-muncul di sekolah, tetapi tentunya intensitas interaksi mereka pastinya akan menurun bahkan tidak ada, makanya Bening sedih.

Mata pelajaran kedua di UTS hari kelima, alias ujian yang terakhir. Bening telah selesai, karena mata pelajaran terakhir adalah PKWU, 'matpel gajelas', kalo kata Bening.

Bening melirik ke sampingnya, melihat Gisya yang sepertinya sudah selesai juga. Bening tidak mau mengakhiri masa UTS ini, Ia masih ingin berinteraksi dengan Gisya. Maka dari itu, Ia mengambil kertas kosong dari kolong meja, dan mulai menulis.

Hai, Kak Gisya! Ujiannya udah?

Bening menuliskan hal tersebut, lalu menggeser kertas itu ke dekat Gisya dan mencolek kakak kelasnya itu. Gisya yang tadinya sedang merebahkan kepalanya di meja pun langsung bangun, dan tersenyum ketika melihat kertas dari Bening.

Udah selesai, nih. Kamu juga ya? Pasti lagi gabut, haha, tulis Gisya.

Bening lalu membalas, Iya … aku gabut ): Gak kerasa ya, udah selesai aja uts nya. Pisah sama Kak Gisya, deh. Huhu T__T

Jangan sediihh! Kan masih bisa ketemu besok besok. Kita sama sama masih sekolah disini, kan? Wkwk.

Iya sih … tapi tetep aja ):

Gisya terdiam sejenak, lalu menulis, Bening.

Iya, Kak Gi?

Mau main 20 questions, gak? Tapi ga harus 20 pertanyaan, sampe bel bunyi aja. Mau?

Bening berusaha menahan dirinya dari tersenyum lebar saat melihat tulisan Gisya—tapi gagal sih, nyatanya bibir Bening membentuk lengkungan ke atas.

MAUU!

Oke. Kamu boleh nanya yang pertama.

Bening tersenyum jahil, seraya menulis, Apa penyebab jatuhnya Kota Konstantinopel ke tangan Turki Usmani?

Saat membaca pertanyaan Bening, Gisya melongo.

Kok jadi sejarah … aku anak ipa :(

HAHAHA. Ga deh, bukan itu pertanyaannya. Oke, aku mau nanya, makanan favorit Kak Gi apa?

Semenjak dikasih permen sama seseorang yang inisialnya Ayesha Bening, makanan favoritku jadi permen. Apalagi permen kis. Terlebih lagi kalo permennya dari Ayesha Bening.

Ketika membaca tulisan Gisya, Bening menunduk. Ia yakin, wajahnya pasti memerah. Senyuman pun tak bisa Ia tahan lagi.

Ih, Kak Gisya gombal aja >:(

Gisya terkekeh, Hahaha. Tapi serius, aku itu sweet tooth, suka yang manis-manis. Kalo kamu, makanan favoritnya apa?

Aku suka semua makanan … basically omnivora ):

Wkwkwk bagus bagus, jadi ga susah milih makannya. Anyway, pertanyaan kedua ya? Kan tadi udah makanan favorit, kalo sekarang minuman favorit. Minuman favorit Ning apa?

Bening terlihat berpikir sesaat, kemudian Ia menulis, Aduh, aku bingung … Aku suka semua minuman juga :(

Saat melihat tulisan Bening, Gisya tertawa kecil. Omnivora sih ya? No wonder. Hahaha. Btw, chatime suka?

Suka! chatime enakk

Emang, enak banget. Menu favoritmu apa, Ning?

Bening terlihat berpikir lagi. Kemudian menulis, Kalo aku tulis aku suka semua lagi, kesel ga? HAHAHA. Ga deh. Tapi beneran, aku ga pemilih anaknya … Tapi kalo harus milih, biasanya aku beli pure cocoa + pudding sih. Itu enak banget, Kak Gi harus coba!

Pure cocoa + pudding? Oke, nanti aku coba deh.

Kalo chatime favorit Kak Gi apa?

Aku anaknya basic … alias favoritku itu hazelnut choco wkwkwk menu favorit sejuta umat.

Haha bener, sejuta umat. Tapi emang beneran enak sih!

Bel pulang menghentikan aktivitas 'mengobrol lewat tulisan' Bening dan Gisya. Bening cemberut, Ia masih tidak ingin berpisah dengan Gisya.

Gisya bangkit dari kursinya, kemudian menghadap ke arah Bening yang sedang cemberut. Ia mengelus punggung Bening sambil berkata, “Hey, udah, jangan sedih, Ning.”

Bening sedikit terkejut, lalu mendongak, tapi menunduk lagi setelah melihat Gisya yang sedang menatapnya.

Bening lalu ikut bangkit, berdiri sejajar dengan Gisya. Ia berucap, “Kak Gisya.”

“Iya?” tanya Gisya dengan satu alisnya yang terangkat.

Bening meneguk ludah, lalu berkata, “See you next time.

Mendengar kata-kata Bening, Gisya sedikit tertawa. “Kamu, nih. Udah kaya mau pisah kemana aja. Nanti Senin kita juga ketemu lagi, Ning.”

“Tetep ajaaaa, Kakaaak,” rengek Bening sambil cemberut.

Gisya tertawa.

“Eh, iya. Kamu langsung pulang, Ning?” tanya Gisya.

Bening menggeleng. “Enggak, Kak. Abis ini aku mau padus, huft.”

Mulut Gisya membentuk bulat, “Ooohh … kamu anak padus. Suaranya bagus, dong?”

“Ya … gitu.”

Mereka tertawa bersama.

“Padusnya dimana? Di ruang musik?” tanya Gisya lagi.

Bening menggeleng lagi, “Enggak. Padusnya di kelas ini, Kak. Soalnya ketuanya, Kak Winda, kelasnya disini.”

Gisya hanya mengangguk-angguk.

Tiba-tiba suara Kale terdengar, “Gis! Buru!” membuat Bening dan Gisya terpaksa harus mengakhiri interaksi mereka.

“Aku duluan, ya? See you, Bening,” ujar Gisya sambil melangkah pergi, tangannya dadah-dadah.

See you, Kak Gisya!”


“Bening ada?” tanya Danisa yang kepalanya nongol di pintu kelas XII MIPA 2, tempat anak padus berkumpul.

Bening pun bangkit dan melangkah keluar setelah Winda memberi izin padanya.

“Kenapa, Sa?” tanya Bening ketika Ia sampai di hadapan Danisa.

“Lo dicariin satpam, Ning. Kayanya GoFood lo udah sampe,” jelas Danisa.

Bening menatap Danisa bingung. GoFood? Gue gak pesen apa-apa …

“Gue ga pesen apa-apa, Sa. Beneran buat gue?” tanya Bening lagi, memastikan.

Danisa mengangguk yakin. “Beneran. Samperin dulu dah. Mungkin ada yang ngasih GoFood buat lo?”

Bening bengong lagi. Siapa yang ngasih, anjir? Temen-temen gue gaada yang sedermawan itu perasaan.

Bening pun mengikuti kata Danisa, menghampiri pos satpam. Dan benar saja, ada abang GoFood yang menunggu disana.

“Mba Bening?” tanya abang tersebut. Bening hanya mengangguk.

Abang GoFood itu memberi Bening segelas Chatime, sambil membaca tulisan dari ponselnya, “Ini ada pesen dari pengirimnya, Mba. Katanya 'Ning, makasih ya udah jadi chairmate ujian yang asik. Nanti kalo ketemu aku, sapa aja, oke? Btw, ini Chatime pure cocoa plus pudding buat kamu, anggep aja ucapan terimakasih dari aku. Enjoy!' gitu, Mba.”

Bening sangat ingin berlari ke lapangan lalu berteriak sambil guling-guling, karena saking senengnya. Tapi sayangnya, dirinya masih waras, jadi ga dilakuin. Padahal seru kan ya ngeliat anak orang guling-guling sambil teriak-teriak di tengah lapangan.

“M-makasih, ya, Mas!” ucap Bening.

Gue harus bilang terima kasih ke Kak Gisya … Dia masih di sekolah, gak, ya?

Bening kembali masuk ke kawasan sekolah, berniat mencari Gisya. Ternyata tidak perlu susah-susah dicari, Gisya terlihat sedang duduk di pinggir lapangan bersama teman-temannya.

Bening berjalan ke arah sirkel itu, tetapi Ia berhenti agak jauh dari sirkel tersebut karena rada takut berhadapan sama banyak kakak kelas. Mana ada Kak Kale yang terkenal galak, lagi.

Bening berdiri bagai orang bodoh di pinggiran deket tembok, sambil berharap Gisya menyadari keberadaan dirinya. Entah telepati atau doa Bening di ijabah oleh Tuhan, tak lama setelah Bening berdiri disana, Gisya tak sengaja sedang mendongak, lalu matanya bertemu dengan mata Bening. Bening yang melihat itu langsung tersenyum sumringah sambil dadah-dadah. Gisya ikut tersenyum, lalu izin pada teman-temannya untuk pergi menemui Bening sesaat.

“Hai, Bening,” sapa Gisya begitu dirinya berdiri dekat Bening.

“Hai, Kak Gisya.”

Bening menyodorkan Chatime pada Gisya. “Ini …”

Gisya menahannya, “Itu buat kamu, Ning.”

“Tapi …”

“Tapi apaa? Udah, minum, gih. Mayan kan, haus abis nyanyi-nyanyi padus terus minumnya Chatime,” ujar Gisya sambil terkekeh. Bening tertawa kecil.

“Makasih banyak ya, Kak Gisya. Buat Chatime-nya … Dan juga udah jadi chairmate yang baaaik banget sama aku. Kakak chairmate favorit aku,” ucap Bening malu-malu.

“Sama-sama. And the same goes to you, Bening,” Gisya tersenyum lebar, tangannya mengusap pundak Bening. “Udah, gih. Padus lagi.”

Bening mengangguk. “Siap, Kakak! Aku padus lagi, ya?”

“Okay! Semangat padusnya, Ning!”

“Makasih, Kak Gi.”

Bening sungguh bahagia hari ini. Saking bahagianya, saat berjalan balik ke kelas, Bening sampe kesandung kaki sendiri lalu jatuh. Bening tidak berani menengok ke belakang karena Ia tau, pasti Gisya melihatnya.

Wajah Bening memerah, menahan malu.

Mata pelajaran UTS pagi ini adalah Matematika, pelajaran yang Bening benci. Kebalikan dari Dwina, siswi itu justru pintar dalam Matematika. Bening sangat bersyukur karena Dwina duduk tepat di belakangnya, jadi nyonteknya gampang nanti.

Ujian pertama dimulai. Baru juga 15 menit, Bening sudah frustasi.

“Kerjain dari belakang aja, kali, ya …” gumam Bening.

Bening pun membuka kertas terakhir, melihat nomor 40. Wah, bisa, nih. Akhirnya Ia mengerjakan nomor terakhir itu.

Pada nomor 36, Bening kembali stuck.

Mau dari depan, dari belakang, semuanya sama-sama susah, bangsaaaat, keluh Bening dalam hati.

Bening pun duduk bersandar di bangkunya, sedikit menengok ke arah Dwina. “Psst, Dwin!”

Dwina mendongak, “Nomor berapa?”

“Nomor 36, dong,” bisik Bening.

Dwina menatap Bening aneh. “Kok cepet banget?!”

“Gue ngerjain dari belakang.”

“Si anjir, gue baru nomor 10.”

“Yaudah, mau liat semua dong.”

“Ngelunjak ya, anjing.”

Bening memberi Dwina wajah memelasnya, seraya berbisik, “Dwina …”

Dwina menghela napas. Lalu berkata, “Ya udah, 1-5. Denger yang bener, oke? Ga ada pengulangan.”

“Buset.”

Take it or leave it!

“Iya, iya.”

“1-5, A B D A A.”

“Makasih, Dwina!” seru Bening senang.

Ketika Bening ingin bertanya lagi, Ia melihat mata pengawas sedang mengarah padanya. Akhirnya, Ia pun mengurungkan niatnya.

Kebalikan dari Bening yang kesulitan, Gisya sangat santai pagi ini. Mata pelajarannya adalah Bahasa Inggris, mata pelajaran yang mudah, menurutnya.

Gisya melirik Bening yang sedang gelisah, lalu mendekat dan berbisik, “Pelajaran apa?”

“Mtk, Kak.”

“Coba liat, sini.”

Bening menggeleng pelan. “Eh, Kak. Ga usah, gapapa. Ntar ngerepotin-”

Gisya mengambil soal Bening dari genggamannya. “Santai aja, ujian aku gampang hari ini, Bahasa Inggris. … Oh, ini mah gampang, Ning. Aku bisa, nih.”

Beberapa menit selanjutnya, Gisya mengerjakan soal Bening, lengkap dengan cara mendapatkan jawabannya yang ditulis di kertas coret-coretan. Daripada gabut, Bening pun ijin melihat soal Bahasa Inggris Gisya, lalu membantu mengerjakan beberapa nomor juga.


Begitu bel pulang berbunyi, Bening menahan Gisya terlebih dahulu. Gisya mengangkat alisnya, “Kenapa, Bening?”

Bening berdeham, lalu berkata, “Makasih udah bantu aku hari ini, Kak Gi,” ucap Bening sambil mengambil tangan Gisya dan menempatkan dua buah permen Kis di telapak tangannya.

Gisya tersenyum, melihat permen itu. Saat sedang memperhatikan permennya, Ia melihat ada tulisan di bagian belakangnya. Gisya pun membaca tulisan itu, “Kamu cantik deh. Jadian yuk.”

Wajah Bening memerah. Ia benar-benar lupa jika permen Kis memiliki tulisan-tulisan gombal di bagian belakangnya.

Gisya tersenyum miring, “Maksudnya … kamu mau ngajak aku jadian, Ning?”

Bening salah tingkah. Wajahnya memerah, jantungnya berdegup dengan sangat kencang. “E-engga g-gitu, Kak! Aku ga ngeh-”

Gisya tertawa terbahak-bahak. “Aku becanda, Bening. Kamu lucu banget.”

Setelah mengucapkan kalimat itu, Gisya langsung berlari keluar. Meninggalkan Bening yang terdiam membeku.

Dwina dan Runi yang sedari tadi memperhatikan mereka, langsung pura-pura batuk-batuk “ahem, ahem. uhuk! uhuk! cie” untuk menggoda Bening.

Bening melotot, “Gue cetak BH lu, yak!”

SMA Nusantara merupakan sekolah yang strict, menjunjung tinggi integritas, terutama saat ujian. SMA ini tidak mentolerir segala bentuk kecurangan ketika ujian. Siswa yang ketahuan menyontek akan diberi sanksi berupa namanya akan disebut di speaker yang akan didengar oleh seluruh warga sekolah, ditambah dengan lembar jawaban yang tidak akan dinilai, sehingga akan mendapat nilai 0 dalam ujian tersebut.

Pada realitanya, nasib para siswa berada di tangan pengawas. Kecurangan masih bisa terjadi, jika mereka mendapat pengawas yang santai. Namun, jika mendapat pengawas yang tegas, siswa-siswi pun takut untuk melakukan hal itu. “Nama siswa yang ketahuan mencontek akan disebut di speaker dan mendapat nilai 0” itu bukan hanya tipuan belaka, hal itu benar terjadi. Di UAS tahun ajaran kemarin, terdapat 5 siswa dari berbagai kelas yang mendapat sanksi tersebut. Hal itu juga terjadi karena mereka mendapat pengawas yang tegas, terutama Pak Bambang.

Ruang ujian 05, yakni ruang ujian Bening dkk sedang apes kali ini. Pengawas ujian mereka pagi ini adalah Pak Bambang, pengawas tegas yang tidak ada ampunnya ketika menemukan siswa yang nyontek.

Bening udah panas-dingin. Pasalnya, mata pelajaran sekarang adalah Geografi, pelajaran yang Ia tidak suka, dan Ia juga tidak mengerti. Runi mengerti Geografi, dan Bening tadinya memang sudah berniat untuk bertanya padanya, tetapi bagaimana caranya jika pengawasnya adalah pengawas yang super tegas dan teliti seperti Pak Bambang?

Ujian pertama pun berjalan. Baru juga 30 menit awal, tapi Bening udah kebingungan. Bening pun mengumpulkan segala keberaniannya, lalu mencolek Runi yang berada di depannya.

“Runi! Liat, dong!” bisik Bening. Runi bergerak di kursinya, membuat suara yang memecah keheningan ruang 05.

Pak Bambang menoleh, dan Bening pun mengurungkan niatnya untuk melihat jawaban Runi.

Percobaan kedua. Bening mencolek Runi lagi.

“Runi … Mau,” bisik Bening.

Runi sedikit menyamping, “Mau apaan? Nomor berapa?”

“Itu geser aja kertas jawaban lo, gue mau liat,” ucap Bening sambil menunjuk-nunjuk.

Tiba-tiba, terdengar suara barang jatuh. Bening dan Runi langsung duduk tegak dan menghadap ke depan. Terlihat Pak Bambang yang sedang menatap ke arahnya. Jantung Bening rasanya jatuh ke perut.

“Maaf, tempat pensil saya jatoh,” ucap si pelaku, yang ternyata adalah Gisya.

Sebelum Gisya mengambil tempat pensilnya, tangan sebelah kanannya menyodorkan kertas soalnya pada Bening, yang terdapat tulisan:

Jadi, tadi Kak Gisya sengaja jatohin tempat pensil buat nge-distract Pak Bambang?

Hari kedua UTS.

Bening telah duduk dengan rapi, bersiap untuk membantai ujian hari kedua ini. Tak lama kemudian, Gisya datang menghampiri dan duduk di sebelahnya.

Kali ini, Gisya membawa portable fan, dan sekarang sedang menggunakannya untuk meminimalisasi gerah yang Ia rasakan. Bening yang melihat itu pun berucap, “Wah, Kak Gisya bawa kipas juga.”

Gisya menoleh ke arah Bening, lalu terkekeh. “Iya, aku langsung beli kemaren,” Gisya tertawa kecil, “Biar kamu ga usah ribet-ribet sharing kipasnya sama aku. Kan enak, kalo have it all for yourself.

Bening tersenyum, menggeleng pelan. “Engga kok, Kak. Aku malah seneng bisa kipasan bareng Kak Gisya, hahaha,” Bening tertawa kecil.

Gisya menaikkan alis, lalu menempatkan portable fan miliknya di tengah meja. “Sini, kipas kamu taro di sebelah punya aku. Biar tetep kipasan bareng tapi anginnya 2x lipat.”

Mendengar itu, Bening pun langsung menempatkan portable fan miliknya disana. Ia tertawa, “Hahaha, kipasan bareng.”

Gisya tersenyum lebar. Lalu Ia teringat sesuatu.

Gisya menunjukkan tempat pensilnya, seraya berkata, “Aku udah bawa tempat pensil sekarang.”

Bening menyengir, “Ga minjem aku lagi, dong?”

Gisya mengangguk. “Iya. Abis kalo minjem kamu, aku ngeri, takut lupa balikin. Nanti bayar denda, lagi.”

Mata Bening membulat, terlihat panik. Lalu Ia membuat gesture seakan-akan Ia mengatakan “tidak” dengan tangannya. Kepalanya menggeleng kuat. “Kak, ya ampun ... Maaf, maksudnya ga gitu … Sumpah, gapapa kalo Kak Gisya ga sengaja ngilangin juga, aku-”

Gisya tertawa. “Aku becanda, Bening.”

Melihat itu, wajah Bening memerah. Ia pun langsung menunduk, malu.


Pelajaran pertama Gisya adalah Fisika. Gisya kurang suka Fisika, karena menurutnya, banyak materi yang cukup complicated dan sulit untuk Ia mengerti.

Biasanya, Gisya menggunakan kalkulator untuk mempercepat pekerjaan. Gisya bisa dibilang seorang yang pintar, tapi sedikit lama ketika menghitung. Makanya Ia membutuhkan kalkulator. Dari kemarin pun, Ia diam-diam membawa kalkulator saat ujian. Untung saja, pengawasnya tidak melihatnya.

Namun, kali ini … Ia lupa akan kalkulatornya. Gisya adalah seorang yang pelupa. Telah terbukti, kemarin saja Ia lupa membawa tempat pensilnya.

Tiga puluh menit telah berlalu, tetapi gisya baru saja mengerjakan sekitar 5 soal. Gisya gelisah, karena soal yang harus dikerjakan masih banyak dan dirinya tidak dapat mengerjakan dengan cepat.

Dari ekor mata Gisya, Ia dapat melihat Bening yang mengeluarkan ponsel dari kantongnya, dan mulai googling jawaban.

Apa gue pinjem hp Bening buat ngitung, ya?

Gisya pun mendekatkan tubuhnya ke arah Bening, lalu berbisik, “Bening.”

Bening sedikit terlonjak, “K-kenapa, Kak Gisya?”

“Kalo nanti lagi ga dipake, boleh pinjem hp-nya, gak? Aku mau pake kalkulator … Boleh?”

Bening melihat ke arah ponselnya, lalu ke arah Gisya. “B-boleh kok, Kak.”

Gisya tersenyum lebar, yang membuat matanya ilang. “Oke, Bening. Makasih, ya.”

Setelah Bening selesai menggunakan ponselnya, Ia memberikannya pada Gisya. Berkat bantuan ponsel Bening, Gisya jadi dapat mengerjakan soal-soal dengan lebih cepat.


Pukul 22:00. Bening baru saja selesai belajar untuk UTS besok. Ketika merapikan barang-barangnya, Ia melihat sebuah tulisan di belakang kartu ujiannya.

Kenapa gemes banget …

Hari pertama Ujian Tengah Semester.

Sebelumnya, Dwina mengatakan bahwa kelas yang menjadi ruangan ujian mereka itu gerah, makanya Bening membawa portable fan. Bel masuk telah berbunyi, seluruh siswa sedang duduk di bangku masing-masing, menunggu pengawas masuk.

Bening (bersama Algisya) duduk di meja pojok, dekat tembok, di barisan kedua. Di depannya ada Arunika, atau yang kerap disapa Runi, bersama seorang lelaki di sebelahnya. Sedangkan, di belakang Bening ada Dwinasya, atau Dwina, yang duduk bersama kakak kelas cantik bernama Kalenia. Bening sangat bersyukur karena Ia duduk dekat sahabat-sahabatnya, jadi kan gampang nyonteknya ntar (loh).

Algisya, atau yang kerap disapa Gisya, duduk di sebelah Bening. Setelah melihat gadis itu pertama kali, menurut Bening, Gisya merupakan gadis yang cantik, dan sejauh ini, orangnya keliatan kalem. Bening bertanya-tanya, kok bisa ya Kak Gisya ga famous? Padahal cantik banget. Dan temenan sama Kak Kale yang famous. Apa mungkin karena dia anaknya kalem, ya?

Dari ekor mata Bening, Ia melihat Gisya yang beberapa kali mengipas-ngipas dengan tangannya, juga melonggarkan kerah bajunya. Pasti Ia kegerahan. Maka dari itu, Bening yang tadinya memegang portable fan miliknya ke arah lehernya, menempatkan portable fan itu di meja, di tengah-tengah, antara Bening dan Gisya. Gisya yang merasakan sedikit angin yg tertiup ke arahnya menoleh, dan melihat portable fan yang berada di tengah meja.

Bening membuka suara, “Kerasa gak, Kak?”

Gisya tersenyum, sedikit mengangguk lalu menjawab, “Mayan, kok. Makasih, ya.”

Bening tersenyum lebar, lalu kembali duduk menatap ke depan.

Pengawas telah masuk dan membagikan lembar jawaban. Bening mulai mengisi bulatan-bulatan untuk melengkapi identitasnya di lembar jawaban tersebut. Sedangkan, Gisya sedang panik. Ia baru ingat, kalo Ia lupa membawa tempat pensil. Gimana cara nulisnya?!

Gisya membalikkan badannya untuk menatap Kale. “Kal … Ada pensil gak?” tanya Gisya memelas.

Kale yang sedang sibuk menulis pun mendongak, lalu menjawab, “Yah, Gis. Mana ada … Kan lo tau, gue tiap ujian bawanya ngepas, buat gue sendiri doang. Kenapa emang?”

“Gue lupa bawa tempat pensil gue, anjir. Pasti lupa gue pindahin dari tas gue yang biasa-”

“Lu, sih. Kebanyakan nonton anime jadi lupa kan lu, Wibu,” ejek Kale.

“Ada apa ribut-ribut disana?” tiba-tiba suara pengawas terdengar, dan matanya menatap ke arah Gisya dan Kale. Gisya pun langsung berbalik badan lagi. Ia menghela napas.

Setelah duduk menghadap ke depan, Gisya mendengar suara Bening berbisik, “Kakak ga bawa pensil?”

Gisya menggeleng.

“Aku ada, Kak. Nih, pilih aja di tempat pensilku,” ujar Bening, menyodorkan tempat pensil super lengkapnya.

Saat memegang tempat pensil Bening, Gisya terperangah. “Woah … Lengkap banget.”

Bening terkekeh. “Iya, hahaha. Temen-temenku nyebut aku Gramedia berjalan. Suka pada minjem juga.”

“Gramedia berjalan,” Gisya ikut terkekeh. “Itu pada minjem, suka pada ilang-ilangan gak?”

“Jarang banget sih, Kak. Soalnya aku ancem, yang ngilangin harus bayar denda ke aku.”

“Waduh.”

Bening tertawa kecil. “Tenang aja, Kak … Kakak pasti ga akan ngilangin alat tulis aku, kan?”

Gisya mengangkat bahu. “Kita ga ada yang tau.”

“Kak …”

Gisya tertawa kecil. Lalu Ia mengambil pensil Faber-Castell 2B yang masih runcing, pasti baru diraut. “Aku pinjem yang ini, ya.”

“Okay, Kak.”

Gisya tersenyum, “Makasih, ya … Ayesha?”

“Panggil aku Bening aja, Kak Algisya.”

“Oke, Bening. Dan panggil aku Gisya aja, ya.”

“Okay, Kak Gisya.”


UTS hari pertama telah selesai. Siswa-siswi sedang sibuk merapikan barang-barang mereka, bersiap untuk pulang.

Bening yang telah selesai merapikan barangnya pun kembali duduk di bangkunya. Kemudian Ia mendengar suara Gisya bertanya, “Kamu suka Nextar, gak?”

Bening mengangguk, “Suka, Kak.”

Gisya menyodorkan sebungkus Nextar pada Bening, lalu bertanya, “Mau?”

Bening menjawab, “Ga usah, gapapa, Kak. Makasih, Kak.” sambil tersenyum.

Gisya cemberut. “Tapi kamu harus mau.”

Bening menautkan alisnya.

“Karena aku beliin buat kamu.”

Gisya meraih tangan Bening lalu menempatkan Nextar tersebut disana. Bening hanya bisa diam membeku, jantungnya berdegup kencang.

“Makasih, ya, Bening. Udah mau minjemin kipas dan alat tulisnya. Maaf kalo aku ngerepotin,” ucap Gisya sambil menyengir.

Bening baru saja ingin menjawab ucapan Gisya, tetapi kakak kelas itu keburu melangkah pergi, sedikit berlari, begitu bel pulang berbunyi.

Setelah Gisya menghilang dari arah pandang Bening, Bening hanya bisa menatap Nextar yang diberikan Gisya, dengan senyum lebar yang terlukis di bibirnya.

Bel istirahat berbunyi, siswa-siswi pun berhamburan dari kursinya. Ada yang berkumpul di depan kelas, ada yang berlari ke kantin, ada juga yang menghampiri temannya untuk nyontek tugas.

Kelas X IPA 2 yang tadinya berisik tiba-tiba terdiam karena kemunculan seorang kakak kelas. Seorang kakak kelas itu bernama Karin. Ia hanya berdiri di ambang pintu, tetapi suasana kelas langsung sepi, bahkan beberapa memberhentikan aktivitasnya untuk melihat sang kakak kelas tersebut.

“E-eh… Kok jadi pada diem? Tenang aja, sumpah! Meskipun aku kakak kelas aku ga akan labrak kalian, suwer!” Karin menunjukkan tangannya dengan jari telunjuk dan tengahnya yang mengacung. Penghuni kelas yang tadinya diam pun kembali ke aktivitas masing-masing.

Karin memasuki kelas dan menghampiri Wina yang sedang membereskan tasnya. Wina tertawa kecil, “Gara-gara Kak Karin, jadi pada diem gitu.”

Karin hanya menyengir dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Sambil berjalan, Wina berucap, “Kalo aku yang ke kelas Kakak aja, gimana?”

Mendengar pertanyaan Wina, Karin langsung menggeleng kencang. “Jangan! Bahaya, kalo kamu ke kelasku.”

Wina menaikkan alisnya, “Bahaya kenapa?”

“Nanti pada suka sama kamu.”

Mendengar ucapan Karin, Wina hanya memutar bola mata. Namun, bibirnya melengkung, membentuk senyum.

“Kalo di tangga aja, gimana? Aku tungguin tepat disini,” tanya Karin saat mereka berdua menginjak tangga lantai 4.

Kelas Karin berada di lantai 3, sedangkan kelas Wina berada di lantai 4. Tadi Karin dengan semangat menaiki tangga untuk menghampiri Wina. Ia rela menaiki tangga sebanyak apapun demi menemui gadis mungil bernama Wina ini.

“Tapi, nanti Kak Karin ribet naik turun gitu. Tunggu di lantai 3 juga gak apa-apa, kok,” jawab Wina.

Karin menggeleng lagi. “It's fine, Wina. I don't mind climbing as many stairs just to reach you.


Selama di kantin, anak-anak sirkel Karin cukup berisik menggoda Karin dan Wina. Anak-anak lain juga banyak yang memperhatikan mereka, karena memang Karin adalah siswi yang famous disini. Karin tidak ingin Wina merasa risih jadi Ia membawanya ke tempat yang lebih sepi.

Karin membawa Wina ke taman sekolah. Di taman itu terdapat tempat duduk dan meja, dibuat dari semen sehingga keras seperti batu dan permukaannya dipoles dan dicat sehingga tempat itu halus dan bersih.

“Kak, ini gapapa mangkoknya kita bawa gini?” tanya Wina sambil mengangkat mangkok mie ayam miliknya.

Karin terkekeh, lalu berkata, “Aku udah kenal sama abangnya kok. Lagian kita bawa kesini doang.”

Wina hanya mengangguk.

“Kecuali… Kalo kamu bawa mangkoknya ke rumah. Kamu mau bawa pulang tu mangkok, ya? Ngaku!”

Wina terbahak lalu memukul Karin pelan. “Ya enggak lah, Kak!”

Mereka sempat tertawa, dan setelah tawanya mereda, mereka mulai makan dengan nyaman di tempat yang sepi ini. Hanya ada Karin dan Wina.

Selama istirahat, mereka sempat mengobrol banyak hal, saling mengenal satu sama lain dengan lebih baik lagi. Senyuman pun sepertinya tertato secara permanen di bibir Karin setiap dirinya bersama Wina.

Kantin SMA Garuda berada di lantai paling bawah. Terdapat berbagai macam makanan dengan banyak penjual juga. Mejanya berbentuk memanjang, dari sisi paling kanan kantin hingga sisi paling kiri kantin. Jadi, biasanya beberapa kelompok siswa dapat duduk di satu meja yang sama, mungkin biasanya perkelompok dijarakin dengan beberapa kursi.

Ajey menemukan 'degem'-nya Karin, duduk di meja tengah, dengan temannya dihadapannya. Karin pun langsung berjalan menuju meja itu, mengajak teman-temannya. Degem-nya Karin itu duduk di bagian tengah meja panjang itu, sedangkan Karin dan teman-temannya memilih untuk duduk di sisi kiri di meja yang sama. Posisi degem itu berjarak dua kursi dari tempat Karin duduk.

Jantung Karin berdebar kencang. Ia menarik napas dalam, lalu membuangnya. Melakukan itu berkali-kali untuk menenangkan dirinya.

“Yaudah, mau pesen apa? Mie ayam?” tanya Karin. Teman-temannya mengucapkan pesanannya masing-masing.

Karin meraih dompet dari tas, yang memicu protes dari Ajey, “Eh, anjing! Itu dompet gue, kenapa lu ambil?”

Protesan Ajey tidak berguna, karena Karin keburu kabur untuk menghampiri penjual mie ayam untuk memesan.

Setelah pesanan datang, mereka saling mengobrol dan bersanda gurau, dengan Karin sesekali melirik ke arah kirinya, memastikan degem-nya ga kemana-mana. Beberapa menit berlalu, makanan mereka telah habis. Felix mengusap-usap perutnya sambil mengatakan dirinya kenyang.

“Eh, Yin. Ayo, make a move!” ujar Felix.

Jantung Karin berdebar lagi. Bulir keringat mulai bermunculan di sekitar dahinya, menandakan Ia nervous.

Tiba-tiba Karin terpikirkan sebuah ide, lalu Ia pun beranjak untuk membeli sesuatu yang Ia pikirkan barusan. Setelah itu, Ia kembali duduk. Kebetulan, teman si degem itu pun beranjak dari kursinya. Karena itu, Karin pun pindah duduk jadi duduk di kursi tepat di sebelah sang degem.

“Um… Hai,” ucap Karin.

Degem-nya itu sedikit terkejut, kemudian melunak ketika melihat yang menyapa itu adalah Karin. Gadis itu tersenyum ke arahnya.

“Dwinanda… Kan?” tanya Karin.

Seseorang yang disebut Dwinanda itu mengangguk, seraya berkata, “Panggil Wina juga gapapa kok, Kak.”

Karin tersenyum, lalu mengangguk. “Oke… Wina. Aku Karin, by the way,” ujar Karin.

Wina mengangguk lagi. “Iya, aku tau Kak Karin kok. Lagian, siapa yang gatau Kakak disini?”

Karin hanya menyengir sambil menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal sama sekali. “Hehehe…”

Kemudian, Karin membuka mulut lagi, “Wina, kamu suka es krim mochi?”

Untuk merespon pertanyaan itu, Wina mengangguk. “Aku suka, Kak. Kenapa?”

Karin menunjukkan es krim mochi yang baru saja Ia beli, dan sedari tadi Ia sembunyikan. Ia berucap, “Aku punya es krim mochi… Tapi, sebelumnya, aku mau minta ijin.”

Wina menautkan alisnya. Ia bertanya, “Ijin apa, Kak?”

Karin meneguk ludah, lalu berkata, “Ijin… Aku mau ijin buat ngedeketin kamu, boleh?”

“Ngedeketin aku?”

Karin mengangguk. “I-iya… Ngedeketin. PDKT, pacaran, you know…”

“Oh…” Wina kemudian mengambil es krim mochi di tangan Karin.

Karin menatap Wina dengan binar di matanya, “Boleh?”

Sambil membuka bungkus es krim itu, Wina berkata, “Eh, kalo ambil es krimnya berarti aku harus jawab boleh, gitu?”

Karin langsung menyilangkan tangan di depan wajahnya. “Eng-enggak, kok! Itu emang buat kamu. Kalo ga diijinin juga gapa-”

“Boleh kok. Ngedeketin aku.”

Mata Karin membulat. “Seriusan?”

Wina mengangguk.

“Beneran, kan?”

Wina memutar bola mata, “Jangan nanya terus, nanti aku berubah pikiran, gimana?”

Karin menyengir. “E-eh… Jangan gitu dong…”

Wina hanya terkekeh, Ia sibuk memakan es krim mochi pemberian kakak kelasnya itu.


Sedangkan Ajey, Felix, dan Gigi…

Dengan teriakan yang pelan, Felix berkata, “Woi! Lu denger, kagak? Itu Karin beneran make a move buat ngedeketin si degem. Mana sini, gocap gue!”

“Ah, salah banget gua setuju taruhan ama lu pada, elah.” gerutu Ajey sambil merogoh dompetnya untuk mengambil lima puluh ribuan.

Gigi menimpali, “Cepe lah, Jey. Gocap-gocap, Felix sama gue.”

“Dih, kaga ada! Tadi kan deal-nya gocap! Bukan masing-masing gocap!”

“Have you ever had your first kiss, Jimin?”

In which Minjeong was curious about how kissing feels like; so she asked her best friend, Jimin.


One sunny afternoon in SM High School, two girls were sitting in front of a class. The school was quiet, since it was supposed to be lesson hours right now. But, the class where one of the girls—Jimin—was in, got canceled because the teacher was unavailable. Meanwhile, the other girl—Minjeong—was kicked out of her class because she got caught using her phone when the lesson was still going on. So, got-kicked-out-of-class Minjeong just went to her best friend's class, hoping she could have some company because she had nothing else to do. Luckily, Jimin's class got canceled so Minjeong's prayers earlier had been granted.

Jimin and Minjeong met when Minjeong was in first grade, and Jimin was in second grade. Ever since the first time they met, they just... Clicked. They get along really well until now. And it has been more than a year since they became friends. Even though their grades were different, which made them quite difficult to meet, but they keep making time to see each other at school at least once a day.

After minutes of talking, they just sort of went silent. Jimin was just playing with her phone, while Minjeong was sitting beside her and just looked around the school. Not long after, Minjeong found two people at the end of the hall. After seeing that, she nudged Jimin, so that Jimin would put her attention on her. Then Minjeong pointed at what she saw earlier, while saying, “Jimin, look. Aren't those two kissing over there?”

Jimin squinted her eyes, then after seeing it clear, she let out a chuckle. She proceeded to put her hands on Minjeong's eyes, preventing her from seeing the couple that was currently kissing. She teased her, “Hey, you weren't supposed to see that, you kid.”

Minjeong tried to push Jimin's hands away from her eyes, while protesting, “I'm not a kid! I'm literally just one year younger than you.”

Jimin finally pulled her hands back off Minjeong's eyes, then still argued, “But still, you're small. And tiny. You're a kid.”

Hearing Jimin's response, Minjeong just rolled her eyes. “Whatever you say.”

Jimin laughed at the shorter girl beside her. But her laughter died down as soon as Minjeong asked, “Have you ever had your first kiss, Jimin?”

Jimin went silent for a while. Then she cleared her throat before saying, “Why do you ask?”

Minjeong looked at her, then shrugged. “I'm just curious. That's all.”

Hearing no response from the taller girl beside her, Minjeong continued her words, “I'm just curious about how that feels, you know? I've never had it, so I'm curious, why do people love doing it so much? Like those two people, they even kiss in broad daylight like this, can't they find a more private place to kiss? Or another time, not right now? What's so special about kissing, huh?”

After hearing Minjeong's long-ass rants, Jimin finally responded, “Uh, I actually don't know as well.”

Minjeong raised her eyebrows, “You've never had it?”

“It's not like that, I have. But…” Jimin gulped. “It didn't feel special at all, I guess, um. Yeah…”

Minjeong's face suddenly came closer to Jimin's face, making Jimin back away a little. “How did it feel like?” she asked curiously.

Jimin scratched the back of her neck, which wasn't itchy at all. How could she explain? Her first kiss was with someone she didn't even have feelings for. That's why she said it wasn't special. Then Jimin cleared her throat before answering, “I don't know… Not much? I didn't really feel anything... In particular, I think. It just felt like, uh, something soft… Pressed against my lips, then… Um, yeah. I guess that's just it.”

Minjeong nodded, while saying, “Oh… Is it really like that?”

“W-well… I don't really know, I've just kissed once. It was with, um, my ex. And it's already a long time ago. I barely remember.”

Jimin didn't know why, but she felt nervous. Her heart has been thumping against her chest, and her hands have been unconsciously playing with her skirt; that's what she's doing when she's nervous.

The next words Minjeong let out just increased Jimin's nervousness. She blinked her eyes rapidly, couldn't believe the shorter girl just said such things to her.

It was, “Jimin, wanna have your second kiss with me? And be my first kiss as well. Do you wanna?”

“W-what?”

Minjeong stared at Jimin. Jimin was confused, how could that shorty be looking all brave and firm while doing all that? Meanwhile, I'm really nervous and currently shaking because of what she's doing.

Minjeong asked again, “Do you want to kiss?”

Jimin gulped. “B-but Minjeong, you only could have your first kiss once in your life. And if you kiss me right now, you won't get a chance to get your first kiss with your boyfriend later.”

“I don't have a boyfriend,” Minjeong said.

Jimin was still playing with her skirt, while saying, “I m-mean… In the future, you know.”

Minjeong shook her head. “I'm really really curious right now, Jimin. I don't wanna wait any longer! Besides, you're the person I really trust, and I treasure you so much. I don't think that would be a problem. I don't mind having you as my first kiss, Jimin.”

Jimin just stared at the shorter girl incredulously. What's wrong with this shorty?!

Seeing Jimin's panic expressions, Minjeong looked down. “I mean... I won't force you to do that.” Then Minjeong looked up again, moving closer, looking at Jimin straight in the eyes with her signature puppy eyes expression. “But I would really really appreciate it and I'd be really glad if you want to do that with me, Jimin.”

Fuck. Jimin cursed. Minjeong's puppy eyes were Jimin's weakness, how could I say no to that?!

“W-well… If you insist. Then, okay. I agree. We could k-kiss.” said Jimin.

Minjeong cheered happily. Jimin noticed that Minjeong's eyes sparkled. Jimin's heart was beating uncontrollably. She was actually afraid Minjeong would notice it, but she tried to brush it off and rather just tried to focus on the weird-ass girl in front of her right now.

“So, when do we kiss?”

Jimin keeps getting surprised because of the shorter girl, really.

“Are you really sure-”

Minjeong nodded excitedly, “Yes! 100% sure!”

“Okay, th-then we-”

Minjeong sighed, then said, “You're taking too long.”

“Wha-”

Minjeong closed the gap between them and shut Jimin up with her mouth. So, yeah… They kissed. They were really kissing.

Jimin was over the moon. She felt like there was an explosion inside her. Her heart was beating even more uncontrollably, thumping against her chest. Her stomach felt like it was filled with thousands of flying butterflies. She's happy. She's happy, kissing the girl she has been secretly having feelings for. Minjeong's lips were soft and sweet, very addicting. Jimin felt like she wanted to kiss those lips all day and all night, unlike when she kissed her ex. It felt bland.

Jimin thought, so this is how kissing (someone you love) supposedly feels like… No wonder, people love doing it so much.

Seconds later, maybe even almost a minute? They backed away from each other, ending their kiss. Jimin was smiling, from ear to ear, while staring at Minjeong full of love.

“You were right.”

Hearing Minjeong's words, Jimin was confused. “Right about what?”

The next words Minjeong was about to say made Jimin froze. She couldn't even explain what she was feeling. It was… overwhelming, she could say.

“You were right, Jimin. It just felt like something soft pressed against my lips, nothing much. I didn't really feel anything special, I guess. I wonder why people love kissing so much...”

— fin. (;


hey guys... i just wanna say english isn't my native language and im actually still learning so please forgive me if i made any mistakes or if this is not good enough heheh ✌️😗 also this is a tmi but i actually don't know how kissing feels like as well (lmao) so i just... sort of, guessed it. lol. was i correct? tell me tell me did i do a great job or