aetrocious

Jarum pendek di jam dinding sudah hampir menunjuk ke arah angka 12, begitupun jarum panjangnya. Para pengunjung yang membawa pasangannya telah berdiri berhadapan, siap untuk mencium pasangannya tersebut.

Sedangkan Karina? Well… Winter masih ngambek.

Beberapa detik menuju pergantian tahun, para pengunjung pesta pun mulai menyerukan hitungan mundur. Karena itu, Karina pun memberanikan diri untuk menatap Winter dan berkata, “Baby… I wanna kiss you when the clock strikes at 12.

Tiga!

Is it okay if I kiss you?

Dua!

You're not answering… Okay then, I will not-

Satu!

Begitu kedua jarum jam menunjuk ke angka 12, ucapan Karina terpotong karena bibirnya ditutup oleh bibir Winter. Winter mencium Karina, dan Karina sedikit terkejut, tapi kemudian dengan cekatan Ia membalas ciuman tersebut. Winter mengalungkan tangannya di leher Karina, sedikit menariknya untuk memperdalam ciumannya. Ciuman tersebut semakin memanas, mereka mulai melumat bibir satu sama lain. Selama beberapa saat, mereka melakukan itu. Namun, aktivitas tersebut harus terhenti karena jika tidak, mereka bisa kehabisan napas.

Winter dan Karina memundurkan wajah mereka, lalu saling bertatapan. Napas yang terengah-engah dan senyuman terlukis di wajah mereka.

Winter membuka suara, “Happy new year, Mommy.”

Happy birthday, Baby.” balas Karina.

Winter termenung sesaat. “Wait… Right. It's My birthday…

Karina tertawa kecil, melihat Baby-nya yang melupakan ulang tahunnya sendiri. Kemudian Karina merogoh tasnya, seraya berkata, “Yes, it's your birthday. And that's why…” lalu mengambil kunci kamar dan menunjukkannya tepat di depan wajah Winter. “Let's celebrate new year and your birthday in our own room, ya? Mau?”

Winter mengangguk semangat.


Karina dan Winter sampai di kamar 1101, kamar hotel mereka. Kebetulan, disediakan dua bath robe disini, akhirnya mereka pun berganti pakaian agar lebih nyaman. Hanya memakai underwear dan dibalut dengan bath robe yang disediakan hotel.

Karina menyandarkan punggungnya diatas bantal dan headboard, serta meluruskan kakinya di atas kasur. Badan dan kakinya tertutup selimut untuk menghangatkan tubuhnya. Ia sedang menggonta-ganti channel TV, memilih tontonan yang pas untuk di tonton.

Winter yang baru saja dari kamar mandi menghampiri Karina, kemudian ikut masuk ke dalam selimut. Ia menempelkan badannya pada Karina, kepalanya bersandar di dadanya, dan lengannya melingkar di pinggang Karina. Lengan kanan Karina pun mendekap Winter, dengan tangannya mengelus lembut rambut Winter yang sekarang sudah tidak dikepang lagi. Selama beberapa saat, mereka dalam posisi itu.

Lalu Winter bertanya, “What are we gonna do, Mommy?”

Saat Karina ingin menjawab, bunyi bel terdengar.

“Sebentar, ya, Sayang. Itu pasti room service

Dengan berat hati, Winter melepaskan pelukannya. Karina terkekeh, lalu mengacak rambut Winter gemas sebelum beranjak untuk membuka pintu.

Setelah beberapa saat, Karina kembali ke kasur. Ia menempatkan pesanannya di nakas sebelahnya. Kemudian menuangkan minuman pada gelas yang telah disediakan. Winter hanya terdiam memperhatikan Mommy-nya.

Setelah menuangkan minuman itu, Karina beralih ke Winter lagi. Ia menunjukkan gelas yang berisi cairan berwarna sedikit kekuningan.

You said you wanna try alcohol, right? Then try this.” ujar Karina.

Winter menatap gelas itu, lalu bertanya, “What is that, Mommy?”

“Ini wine, yang kadar alkoholnya rendah. Ga kaya yang tadi. Lagian, sekarang kamu udah 21 tahun, jadi udah boleh minum.” jelas Karina, diakhiri dengan kekehan.

Winter pun mengangguk. Ia bersemangat. Namun, saat Winter hendak meraih gelas tersebut, Karina malah menariknya kembali. Winter menatapnya bingung.

Karina memberi Winter senyuman menggodanya, lalu meminum wine tersebut. Setelah itu, Karina mendekatkan wajahnya pada wajah Winter dan mempertemukan kedua bibir mereka. Winter memejamkan matanya, merasakan betapa manisnya bibir Karina. Cairan beralkohol tersebut juga sedikit demi sedikit memasuki mulut Winter dan bertemu dengan indra perasa miliknya. Winter dimabuk kepalang. Merasakan sesuatu yang baru, alkohol, sekaligus merasakan bibir kenyal Karina yang terus menyentuh dan bergerak di bibirnya. Jantung Winter berdegup kencang, kupu-kupu pun berterbangan di perutnya.

Beberapa saat kemudian, Karina memundurkan wajahnya, melepaskan ciuman tersebut. Winter membuka matanya dan mengerjapkannya beberapa kali. Ia terdiam, masih amazed akibat hal yang dilakukan oleh Karina barusan. Karina tersenyum lebar, merasa bangga melihat gadisnya seperti itu karena hal yang dilakukannya.

Setelah beberapa saat, Karina memecah keheningan. “How did it taste, hm?”

Winter menatap Karina, kemudian tersenyum lebar. “It tasted good! I like it, Mommy!”

Which one do you like more, the wine… or my lips?” goda Karina. Senyumnya seduktif, dengan alisnya mengangkat satu.

Winter membulatkan matanya.

God, my Mommy is so…

Winter meneguk ludah, lalu menjawab, “Of course, I like M-mommy's lips more!

Is that so?” goda Karina lagi.

Winter mengangguk semangat.

Karina meletakkan gelas wine tadi di nakas, kemudian beralih ke Winter lagi dan bertanya, “Then, wanna taste Mommy's lips again?

“Mau! Winter mau!” ujar Winter semangat.

Karina mendekatkan wajahnya pada wajah Winter, mendorong Winter perlahan sehingga bagian belakang tubuh Winter bertemu dengan kasur. Ia kembali mencium Winter, bibirnya lagi-lagi bertemu dengan bibir mungil Winter yang terasa manis dan membuatnya candu. Tidak hanya bibirnya, bibir Karina menjelajah hampir seluruh tubuh Winter. Satu demi satu pakaian ditanggalkan, menyisakan dua insan dengan tubuh yang tidak dibalut apapun. Hanya selimut yang menutupi tubuh mereka.

Sekarang, posisi Winter telentang di atas kasur, dengan Karina yang berada di atasnya. Kepala Karina berada di ceruk leher Winter, menghirup wangi tubuh Winter. Ciuman dan gigitan kecil berkali-kali diberikan oleh Karina pada kulit mulus Winter, yang menghasilkan erangan yang keluar dari mulut Winter. Tangan Karina pun tidak diam, Ia menjelajah bagian-bagian tubuh Winter.

Karina memuaskan Winter dengan pelan dan lembut, penuh kasih sayang. Meskipun begitu, Winter telah mencapai pelepasannya hingga beberapa kali. Butiran-butiran keringat tampak di sekitar dahinya.

Setelah dirasa cukup karena Winter sudah mulai terlihat lelah, Karina pun menyudahi aktivitasnya. Mengakhiri hal itu dengan ciuman di bibir gadisnya. Setelah itu, Ia merebahkan tubuhnya di samping Winter. Posisinya menyamping, tangannya menopang kepalanya agar dirinya dapat menatap wajah cantik gadisnya. Tangannya bergerak untuk meraih area sebelah kanan wajah Winter, merapikan rambutnya dan mengelus pipinya. Winter juga ikut menyamping, tubuhnya menghadap Karina. Ia menatap Karina dengan mata sayunya.

Sambil menyisir dan mengelus rambut Winter yang berada di sisi kanan wajah Winter, Karina bertanya, “Capek, hm?”

Winter menggeleng pelan. “Nooo, Mommy.”

Karina terkekeh. “No, tapi lemes banget jawabnya.”

Winter hanya tertawa.

Kemudian, Winter mendekatkan tubuhnya ke tubuh Karina, lalu membenamkan wajahnya di dada Karina sambil memejamkan matanya. Karina meluruskan tangan kanannya dan menempatkan tangannya itu di bawah kepala Winter. Sedangkan, tangan kirinya memeluk tubuh mungil Winter. Wajahnya didekatkan ke kepala Winter, Ia mencium pucuk kepala gadis kesayangannya itu. Setelah itu, Ia juga ikut memejamkan matanya. Mereka berpelukan untuk berbagi kehangatan, karena selimut yang menutupi tubuh mereka rasanya masih tidak cukup.

Sekitar setengah jam kemudian, Winter membuka matanya dan mendongakkan kepalanya agar dapat menatap wajah wanita di hadapannya. “Mommy,” panggilnya.

Karina perlahan membuka matanya, lalu menunduk, menatap seseorang yang memanggilnya. “Iya?”

Winter senyam senyum. “Mommy… Winter mau wine lagi.”

Karina tersenyum melihat Winter. Karena hari ini adalah ulang tahun Winter, Ia pun rela menuruti segala keinginan bayi kesayangannya itu.

Karina sedikit duduk, lalu meraih wine di sampingnya. Ia menuangkan isi botol wine itu ke kedua gelas yang ada. Setelah itu, Ia beralih ke Winter lagi. Memegang satu gelas untuknya, dan memberikan satunya lagi untuk Winter. Winter yang sekarang telah duduk dan bersandar di headboard menerimanya dengan senyum yang terlukis di wajahnya.

“Eh, tunggu. Pake bath robe-nya, ya? Biar ga kedinginan.” ujar Karina. Mereka pun memakai bath robe masing-masing.

Gelas demi gelas telah Winter konsumsi, Ia mulai tipsy. Karina pun mengambil gelas Winter, menjauhkannya dari jangkauan Winter.

“Udah, ya? Jangan banyak-banyak. I don't want you to get drunk too much and suffer in the morning.” ucap Karina.

Winter mengalungkan tangannya di leher Karina. “B-but I'm already drunk… D-drunk in love w-with you, Mommy!” ucapnya—totally drunk—sambil menyengir menatap Mommy-nya.

Aish, this drunk baby…

Karina tertawa, lalu menarik Winter dalam pelukannya. Tangannya mengelus lembut rambutnya, kepalanya mencium puncak kepala Winter. “I love you too, Sweetheart.

Winter hanya senyam senyum.

Selama beberapa menit, keheningan menyelimuti. Hanya terdengar deru nafas dan suara tidak jelas dari televisi.

Winter memecah keheningan tersebut, “Mommy.” panggilnya.

“Hm?”

Winter menatap Mommy-nya, dengan senyum lebarnya. “Winter seneng… Seneng banget. Winter seneng spending new year and birthday Winter bareng Mommy.” ucapnya.

Thank you for making my birthday special, Mommy. Winter sayang Mommy banyak banyaaakk!”

Karina ikut tersenyum lebar. Ia membalas, “My pleasure, Baby. Mommy juga sayang Winter banyak banyak.”

Jam telah menunjukkan pukul 11, menandakan bahwa sejam lagi tahun akan berganti. Saat sampai di club hotel tempat pestanya berlangsung, lautan manusia telah memenuhi ruangan tersebut.

Karina bertemu sapa dengan teman-teman yang Ia kenal dekat, juga sedikit mengobrol dengan mereka. Tidak lupa, mengenalkan Winter dan membawa Winter dalam percakapan juga.

Setelah dirasa cukup ngobrolnya, Karina membawa Winter ke tempat yang sedikit sepi agar Winter tidak merasa sesak. “Sebentar, ya, Baby? Mommy mau ambil minum dulu. Don't receive drinks from anyone, okay? It's dangerous.” ujar Karina. Winter hanya mengangguk.

Beberapa menit kemudian, Karina kembali ke tempat dimana Winter berada dengan membawa dua gelas di tangannya. Ia bernafas lega ketika melihat Winter masih duduk sendiri dengan nyaman.

Karina meletakkan dua gelas yang Ia bawa di meja di hadapannya. “Here, Baby.”

Karina mengambil gelas miliknya, begitupun Winter.

Karina berucap, “Cheers?

Winter tersenyum lebar, “Cheers!

Mereka pun meneguk minuman mereka. Namun, Winter merasa kecewa ketika Ia merasakan minumannya itu. Raut wajahnya berubah jadi cemberut. “Mommy… Kok Sprite, sih?”

Karina hanya tertawa. Sungguh gemas Baby-nya itu.

Winter membuka mulut, “Mommy.”

Yes, Baby?”

Winter menunjuk ke arah gelas Karina, kemudian berkata, “Mommy… I wanna try that. Can I?”

Karina menggeleng. “No, Baby.”

Winter kembali mencoba, “But, Mommy…” dengan ekspresi memelasnya. Wajahnya sudah seperti emoji yang menunjukkan tatapan memohon, dengan dua bola mata yang lebar dan berbinar.

Melihat itu, Karina tersenyum. Namun, Ia tetap menggelengkan kepalanya, seraya berkata, “No. Itu kandungan alkoholnya tinggi, Sayang.”

Winter menghela napas. Tapi Ia masih ingin mencoba alkohol yang diminum Mommy-nya itu. Jadi Ia mencoba lagi, “Mommy, please… Just a little, ya?” sambil menunjukkan jari telunjuk dan jempolnya yang hampir menempel, menandakan jumlahnya yang sedikit.

Karina kembali menggeleng. “I said no, did I? Udah berani ngelawan Mommy, hm?”

Mendengar itu, Winter menunduk. Ia cemberut lagi.

Karina yang melihat itu ingin membujuk Baby-nya agar tidak ngambek, tetapi seseorang menyapanya.

“Eh, Karin? Ya ampun, udah lama ga ketemu!” ujar orang itu.

Karina pun menoleh dan mendongak untuk melihat seseorang itu. Lalu berdiri sambil berkata, “Eh… Ningning? Hey! Apa kabar?”

Mereka pun saling berbincang selama beberapa saat. Kemudian Karina ingin mengenalkan Winter pada teman lamanya itu. Saat namanya dipanggil, Winter pun ikut berdiri di sebelah Karina, mengenalkan diri dan sedikit berbincang dengan wanita bernama Ningning di hadapannya. Meskipun lagi ngambek, Winter masih tau tata krama, jadi berusaha untuk menunjukkan bahwa dia baik-baik saja.

Melihat itu, Karina pikir Winter sudah tidak ngambek lagi. Ia pun menggerakkan tangannya untuk meraih lengan Winter, Ia berniat untuk melingkarkan lengannya pada lengan Winter. Namun, Winter malah sedikit menjauh, dan secara tidak sadar memanyunkan bibirnya.

Ah… Dia masih ngambek ternyata.

Setelah berhasil meyakinkan bundanya untuk membiarkan dirinya bermain di rumah Winter dulu, Karina pun memasuki kediaman keluarga Winter dengan tangan kanannya menggandeng Winter dan tangan kirinya membawa kotak kecil yang dimaksudkan sebagai kado natal untuk pacarnya.

Winter mengajak pacarnya itu untuk masuk ke kamarnya, karena di luar banyak orang dan Winter ga suka. Winter mau berduaan dengan pacarnya, mumpung pacarnya itu sedang berada disini. Bocil berumur 8 tahun itu membawa kesayangannya untuk duduk di kasurnya.

Karina duduk membelakangi headboard, dan Winter duduk di hadapannya. Winter hendak meraih kedua tangan Karina, tetapi Ia melihat sebuah kotak kecil yang berada di tangan kiri Karina. Ia pun bertanya, “Rina, itu apa?”

Bukannya menjawab, Karina malah menunduk malu.

“Itu bukan cincin tunangan kaya yang Om-nya Winter kasih ke Aunty-nya Winter kan? Rina bukannya mau ngajak Winter tunangan kan? Rina, kita masih kecil…” cerocos Winter. Kemudian dirinya dihadiahi tabokan pelan dari Karina, diiringi dengan tawa yang keluar dari mulutnya.

“Ya enggak lah, Winter! Tunggu kita udah gede dulu.” ucap Karina. Winter hanya cengengesan.

Karina pun memegang tangan Winter, dan menempatkan kotak kecil—yang sedari tadi Ia pegang—pada telapak tangan Winter. Lalu Karina berucap, “Ini kado natal buat Winter. Buka deh.”

Mata Winter membulat. “K-kado natal?”

Aduh… Kok Winter bisa sampe lupa, sih?! Winter ga nyiapin apa-apa buat Rina…, pikir Winter.

Karina mengangguk semangat. “Iya, kado natal. Winter juga siapin kado buat Rina, kan?”

Winter tersenyum kikuk. “I-iya... Dong! Nanti liat, kado dari Winter keren!” ucap Winter berusaha santai

WINTER HARUS KASIH KADO APAAA??!, teriak Winter dalam hati.

“Kok Winter diem aja? Buka kadonya, dong!” seru Karina.

Mendengar itu, Winter pun langsung membuka kado dari pacarnya itu. Setelah dibuka, ternyata ada dua gelang handmade, dengan inisial W dan K. Winter tersenyum lebar. Ia sangat senang menerima kado dari pacarnya itu.

“Ini gelang couple gitu, Winter. Rina bikin sendiri loh!” ucap Karina bangga.

Setelah mendengar bahwa kado ini dibuat oleh pacarnya sendiri, Winter makin seneng. Tapi Ia juga jadi makin merasa buruk, karena dirinya tidak menyiapkan apa-apa.

“Winter kenapa bengong mulu, sih? Sini, Rina pakein. Yang inisial K buat Winter. Karena Winter itu milik inisial K, yaitu Karina!” ujar Karina sambil menyengir dan memakaikan gelang itu pada pacarnya.

Karina tersenyum, melihat tangan dirinya dan pacarnya yang dilingkarkan dengan gelang couple hasil karyanya. Winter juga ikut tersenyum, merasa bahagia memiliki pacar seperti Karina.

Dengan senyum yang masih terlukis di wajahnya, Winter berkata, “Makasih ya, Rina.”

Karina mengangguk sambil tersenyum.

Lalu dengan polosnya, Winter membuka mulutnya lagi, “I love you, Rina.”

Sekujur tubuh Karina rasanya membeku saat mendengar tiga kata tersebut secara langsung.

Melihat Karina yang terdiam, Winter cemberut. “Kok Rina diem aja?”

Mata Karina membulat, kemudian Ia buru-buru membalasnya, “I-i love you too, W-winter…”

Winter pun kembali tersenyum, makin lebar malah. Namun, kalimat yang dilontarkan Karina selanjutnya membuat senyuman itu berubah jadi ekspresi panik.

“Sekarang… Kado Rina mana?” tanya Karina sambil menyengir.

Winter ikut menyengir. Menyengir panik.

Matanya memindai seluruh isi kamarnya, kemudian tatapannya jatuh pada hiasan santa claus yang berada di mejanya. Ia teringat…

Winter kembali menatap Karina, kemudian berkata, “Rina tutup mata dulu! Jangan melek sampe Winter suruh, okay?!”

Karina pun mengangguk, dan menurutinya.

Beberapa saat kemudian, Karina mendengar suara Winter yang menyuruhnya untuk membuka matanya. Saat Ia membuka mata, Ia melihat Winter yang menggunakan kostum santa claus—lengkap dengan jenggot putih dan topi iconic-nya—sambil mengucapkan, “Rina! Merry Christmas! Ho! Ho! Ho!”

Melihat pacarnya itu, Karina tersenyum lebar. Ia bahagia melihat pacarnya yang lucu seperti itu, jantungnya pun berdegup kencang.

It's Winter Claus!” seru Karina.

Winter tersenyum lebar, kemudian kembali duduk di hadapan Karina lagi.

Karina bertanya, “Ini kado Rina?”

“I-iya… Rina s-suka ga?” tanya Winter takut.

Karina menyengir dan mengangguk semangat, “Rina suka! Suka banget!” lalu melompat dan memeluk Winter hingga dirinya terdorong kebelakang, jatuh ke kasur.

Mereka berdua tertawa, tetapi kemudian Winter protes, “Rinaaa! Nanti topi sama jenggot Winter copot!”

Karina tertawa terbahak-bahak, kemudian kembali duduk tegak.

Winter berbicara lagi, “Winter bukan santa claus biasa, Winter ini gabungan santa claus sama genie!”

Mata Karina berbinar, menatap pacarnya dengan penuh kasih sayang.

“Winter bakal mengabulkan tiga permintaan Rina!”

“Kalo lebih, boleh ga?” tanya Karina iseng.

Winter menautkan alisnya, pura-pura marah. “Ihhh…”

Karina terkekeh, “Hahaha… Iya, iya. Rina bercanda.”

Winter tersenyum lebar lagi. “Jadi, apa permintaan Rina?”

Karina memasang pose seakan-akan Ia sedang berpikir. “Hmm… Rina mau minta Winter buat copot jenggot Winter!”

Winter menatap Karina tidak percaya. “Ih! Kalo dicopot, Winter gak jadi Winter Claus lagi, dong…”

Karina tertawa kecil, lalu berkata, “Gapapa. Abisnya kalo pake jenggot, Rina gabisa liat muka Winter, ketutupan jenggot! Tanpa jenggot pun Winter tetep jadi Winter Claus kok buat Rina!”

Winter menimbang-nimbang alasan Karina dan akhirnya setuju untuk mencopot jenggot putihnya. “Okay, deh.” ucapnya.

Setelah Winter mencopot jenggotnya itu, Karina tidak berhenti memandangi dirinya. Awal-awal sih Winter seneng diliatin, bahkan balas menatap Karina. Tapi lama-lama Ia merasa malu, jantungnya berdegup makin kencang, akhirnya Ia pun mengganti arah pandangnya. Memindai seisi kamar, lalu tatapannya jatuh pada mistletoe yang menggantung di tembok di atas headboard kasurnya.

“Rina! Liat deh. Di atas kepala Rina itu.” ujar Winter sambil menunjuk tempat dimana mistletoe itu berada.

Karina mendongak, kemudian matanya menemukan mistletoe yang menggantung tepat di tembok di atas kepalanya.

Mistletoe?” tanya Karina.

Winter mengangguk. “Iya! Winter minta Mamah buat tempelin itu disitu karena Winter suka, bentuknya bulet kaya donat tapi warna ijo. Ada topping-nya lagi, pita warna merah. Jadi Winter minta buat tempelin di kamar Winter, deh.”

Karina tersenyum, mendengarkan cerita pacarnya.

Setelah bercerita mengenai mistletoe, Winter menemukan permen di atas nakasnya. Ia pun bertanya, “Eh! Rina mau permen ga?” seraya bangkit untuk mengambil permen tersebut.

Setelah mendapatkan permennya, Ia kembali duduk di posisinya barusan. Ia mengeluarkan satu permen khas natal—candy cane—lalu menawarkannya pada Karina. Karina pun mengambil permen tersebut.

Saat sibuk memakan permen, Karina bersuara, “Winter, Rina punya permintaan lagi.”

Winter mendongak, menaikkan alisnya seakan-akan bertanya, 'Apa?'

“Rina mau minta Winter buat duduk di sini, sebelah Rina.” ucap Karina sambil menepuk-nepuk tempat di sebelahnya.

Winter pun mengangguk dan pindah ke tempat yang Karina inginkan. Setelah pindah tempat, Ia masih sibuk dengan permennya. Menggigit kemudian mengunyah permen tersebut.

Berbeda dengan Winter, Karina hanya menjilat dan mengemut permennya. Dan matanya memandang Winter, melihat betapa gemasnya perempuan mungil di sebelahnya yang sedang sibuk memakan permen. Melihat bagaimana pipinya menyembul ketika Winter berusaha menggigit permen yang sedikit besar dengan menggunakan gigi gerahamnya. Secara tidak sadar, wajah Karina mendekat.

“Rina, permen-”

Ucapan Winter terhenti ketika Ia merasakan sesuatu yang lembut menyapa pipi kirinya. Rina nyium pipi Winter??!

Karina sendiri terkejut dengan hal yang baru Ia lakukan tersebut. Ia menutup mulutnya, bisa-bisanya dirinya tidak sadar hingga mencium pipi Winter seperti itu.

“M-maaf W-winter-”

Kali ini, ucapan Karina yang terhenti. Karena kali ini, Winter yang membalas mencium pipi kanannya. Karina membeku, pipinya memerah.

“Impas!”

Karina tertawa, mendengar Winter yang mengatakan mereka telah impas karena telah sama-sama mencium pipi satu sama lain. Winter pun ikut tertawa.

Setelah tawa mereka mereda, keheningan menyelimuti mereka. Karina pun memecah keheningan tersebut dengan, “Rina seneng natalan sama Winter.”

Winter menengok, menatap perempuan di sebelahnya. “Winter juga. Winter seneng Rina disini.”

Karina menahan senyumnya dengan menunduk. Winter bergeser untuk mendekat ke arah Karina, kemudian menyandarkan kepalanya di pundak bocah yang lebih tinggi. Keheningan menyelimuti mereka lagi.

Namun, tak lama kemudian Karina memecah keheningan tersebut, lagi. “Winter,” panggilnya.

Tanpa mengubah posisi, Winter menjawab, “Iya, Rina?”

“Rina p-punya satu permintaan lagi, kan?” tanya Karina.

Winter pun menjawab, “Iya.”

“Winter… Rina mau minta Winter buat c-cium p-pipi Rina l-lagi…” Karina berusaha untuk tidak gagap saat mengucapkannya, tetapi gagal total karena terlalu nervous.

Winter pun menegakkan tubuhnya, lalu menengok, memandang pipi gadisnya yang sudah mulai memerah. Ia tersenyum, menahan tawanya.

Pelan-pelan, Winter mendekatkan wajahnya dengan pipi Karina, matanya tertutup. Karina yang tidak sabar karena Winter tak kunjung mencium pipinya itu pun menoleh, ingin protes pada pacarnya.

“Winter mana ciumn-”

Ketika Karina menoleh, Winter tepat berada di depan wajahnya. Karina terkejut, sehingga dirinya membeku. Ia ingin menoleh ke arah lain, namun terlambat… Karena bibir Winter sudah terlanjur ketemu dengan bibirnya sendiri.

Kok pipi Rina rasanya beda ya? Ini lebih enak deh… ujar Winter dalam hati.

there was a girl, with bangs, who was currently sitting on the floor, staring intensely at the brunette girl in front of her. the brunette was holding a guitar, and constantly strumming it. they were inside the music room, alone. just the two of them.

“i can play the guitar now! my hard work really paid off” said the brunette.

“well, congrats! please teach me, madam” the girl with bangs—lisa—playfully bowed at the brunette—jennie. jennie just laughed it off.

“i wanna play a song. choose one song!” jennie said excitedly.

“i-” even before lisa spoke any word, jennie already cut her off. “wait! i've actually already been learning this song for like, days. i wanna try this particular song” she typed the song on her phone to find the chords.

lisa rolled her eyes. “why did you ask me then?” it was a rhetorical question. jennie was too busy with her song.

“ah, here it is.”

lisa took a peek at jennie's phone, “wish you were gay?” jennie nodded.

“well, you know. it's like describing my current situation. i just wish that he's gay so that i don't have to suffer knowing he likes girls but not me, who is a girl. moreover if he's chasing another kind like me, girls.” jennie sighed. lisa put her hand on jennie's back and rubbed it softly.

“liking someone who doesn't like you back sucks. i don't like it.”

lisa thought to herself, indeed, jen. indeed. she gave jennie a sad smile.

“maybe he's not a good one. or maybe he's not the one for you. who knows? there are still many guys anyway. don't worry. and they all want you too.” lisa gave jennie a reassuring smile. “i mean, who doesn't want you? i bet the school headmaster even-”

“yah! don't slap me!” lisa whined when jennie slapped her playfully. the said girl just giggled.

that's the gummy smile i've always loved, lisa's smile grew wide.

“how about you? do you like someone, lis?” jennie was staring at lisa, making the girl with unmoving bangs gulp.

well, yes. you. lisa shook her head to shove away that thought. jennie gave her a weird look while chuckling.

“n-no. i don't like liking someone. i don't wanna make my life that's already difficult, more difficult” lisa gave jennie a toothy grin. she tried hard not to spill everything. and jennie just let out a small laugh.

“right. you'll not like it. it sucks” a small smile plastered on jennie's face.

hearing that, lisa just smiled. But in her head, she's actually screaming, I'M CURRENTLY SUFFERING NOW MA'AM-

“eh? why are we talking about this? let's just start singing.” jennie put the guitar on the right position, lisa was just staring blankly at her. seeing that girl with the blank expression, jennie nudged her forehead. “what are you doing? let's sing!”

“wait what?” lisa furrowed her eyebrows, even though you can't actually see that because her bangs covered most of it.

“sing. i know you got a good voice.”

“but jen-”

“sing or else-”

“okay.” lisa cleared her throat to prepare for singing. whipped bitch.

jennie started to strum her guitar, filling the whole room with the melody that her guitar made. she started singing, then lisa followed.

lisa couldn't take her eyes off of jennie. her heart was screaming. she just wanted to jump on the girl in front of her and start kissing her everywhere. especially that damn sweet, sweet lips. she gulped and shook her head to erase those inappropriate thoughts.

“i just kinda wish you were gay” jennie sang that line.

bitch, I AM!! i am gay!! the girl with bangs secretly screaming inside her head. then she took a deep breath before ending the song,

“i just kinda wish you were.....” lisa's eyes never left jennie. she stared intensely at the beautiful girl that she has fallen in love with for the past year.

”....gay”

i wish, jen. i wish..

lisa let out a breath that she didn't know she was holding the whole time.

jennie grinned. “told you so! your voice is heavenly! i thank all the gods for giving me a best friend like you”

lisa just smiled bitterly. yeah, best friend. still better than nothing, isn't it?

Winter memiliki kebiasaan buruk, yaitu mencabuti kulit bibirnya yang kering. Ia sadar bahwa hal itu menyakiti dirinya, bikin perih bahkan berdarah, tapi… Ia tidak bisa berhenti. Karena… Enak? Sepertinya bukan enak juga, tapi mungkin satisfying dan udah kebiasaan aja.

Karina membenci hal itu. Bukan benci juga, tapi lebih ke, Ia khawatir jika Winter melakukan itu. Karena setelah Winter melakukan itu biasanya bibirnya merah-merah, bahkan berdarah, dan gadis kesayangannya itu mengeluh perih. Tapi Winter bandel, tetep aja dilakuin.

Kali ini, mereka berdua sedang berada di kamar Karina. Winter sedang semi-rebahan di kasurnya, punggungnya bersandar di headboard. Sedangkan Karina, Ia menjadikan paha Winter sebagai bantal. Kemudian badannya rebahan di kasur kesayangannya.

Winter tahu jika Karina membenci kebiasaan buruknya itu. Jadi, sedari tadi Ia berusaha untuk melakukannya secara diam-diam. Namun, rencananya selalu gagal. Tiap tangannya mulai bergerak, Karina langsung menepisnya. Winter hanya bisa menghela napas.

Tapi Winter pantang menyerah. Ini percobaan kelimanya. Ia berusaha diam-diam menggerakkan tangannya, tapi… Gagal lagi. Karina memegang tangan Winter dan menahannya.

“Udah sih.” ujar Karina. Winter cemberut.

“Pake lipbalm sana.”

Winter menghela napas. “Aku ga bawa…”

Mendengar jawaban Winter, Karina pun bangkit dari kasurnya, kemudian jalan menuju meja riasnya untuk mengambil lipbalm. Setelah itu, Ia kembali ke kasur lagi. Tapi kali ini Ia memilih untuk duduk di pangkuan Winter, sambil saling berhadapan.

Karina membuka lipbalm miliknya. Winter sedikit menegakkan tubuhnya, berpikir bahwa Karina akan memakaikan lipbalm di bibirnya. Namun… Karina malah memakai lipbalm itu pada bibirnya sendiri.

Winter mengernyit, bingung. “Loh aku kira kamu mau p-”

Ucapan Winter terhenti, karena bibir Karina. Iya, Karina mempertemukan bibirnya yang telah dibalut lipbalm dengan bibir Winter. Singkatnya, Karina mencium Winter.

Selama beberapa detik, Winter terkejut. Namun kemudian Ia membalas ciuman gadisnya. Menutup matanya, merasakan bibir gadisnya yang lembut dan lembab karena lipbalm yang Ia gunakan.

Beberapa menit kemudian, mereka melepaskan ciumannya. Winter menatap bibir Karina. God knows how much she loves those pretty and plump lips…

Karina tersenyum, kemudian menggoda Winter, “Suka ya?”

Winter tersipu malu.

Karina mengelus bibir Winter dengan jempolnya. “Jangan cabutin kulit bibir lagi, ya?”

Winter hanya diam, menatap Karina.

“Kalo kamu lagi pengen cabutin kulit bibir, bilang aku aja. Nanti aku cium lagi.” ucap Karina.

Winter pun langsung tersenyum, dan mengangguk semangat. Karina juga ikut tersenyum, melihat puppy menggemaskan dihadapannya. Ia pun mengelus rambut pendek gadisnya.

“Karin…”

“Hm?”

“Kayanya aku lagi pengen cabut kulit bibir lagi.”

Tawa Karina pecah. “Bilang aja, kamu mau aku cium lagi, ya?”

Winter memanyunkan bibirnya dengan gemas, “Iya… Mau cium lagi.”

And so they did. Over and over.

“Winter, kamu udah pacaran sama Karina, kan ya? Gimana cara kamu nembaknya?”

Mendengar pertanyaan itu, Winter yang tadinya sedang menulis pun menoleh.

“Kenapa? Gigi mau pacaran sama orang?” bukannya menjawab, Winter malah melontarkan pertanyaan lagi.

“Iya…” jawab Giselle.

“Wah! Siapa orangnya?” Winter menatap teman sebangkunya dengan excited.

“Uhm… Ningning.”

Mendengar jawaban Giselle, cengiran Winter makin lebar. Ia sangat bersemangat.

“Ningning? Wow! Tembak aja, Gigi!!” seru Winter.

Giselle menatap bocil di hadapannya bingung. Kenapa malah dia yang semangat?

“Aku bingung… Kayanya Ningning cuma sayang sama Aya.” Giselle menghela napas.

“Aya? Masa sih? Ih, Ningning gak jelas.” ujar Winter. Giselle menempeleng kepalanya pelan.

“Gebetan aku jangan dikatain!” seru bocil dengan gigi kelinci itu. Winter hanya menyengir.

Setelah beberapa saat, Winter kembali membuka mulut. “Eh, Gi! Winter punya ide!”

Giselle pun langsung fokus menatap sahabatnya, mendengarkan ide yang disebutkan oleh Winter tersebut.


Keesokan harinya, Giselle, Winter, dan juga Karina sedang berada di rumah Ningning. Loh, kenapa tiba-tiba ada Karina? Jawabannya simpel, karena Winter ga bisa lepas dari Karina.

Mereka berempat sedang berada di ruang keluarga rumah Ningning. Ningning – Giselle – Winter – Karina, itulah urutan posisi duduk mereka di sofa. TV sedang menyalakan acara random, seperti cocomelon.

Kemudian, Winter membuka suara. “Ningning, Winter mau pipis. Toiletnya dimana?”

Ningning mengarahkan dengan jari telunjuknya. “Pake kamar mandi di kamar Ning aja.”

Winter pun mengangguk dan bangkit untuk beranjak ke kamar mandi. Tidak lupa, ia berbisik pada Giselle untuk mengingatkannya akan rencana yang telah mereka susun sebelumnya.

“Winter, Rina mau ikut.” ujar Karina, dan ia pun mengikuti jejak Winter.

Mereka berdua berbohong. Winter tidak ingin pipis, tetapi…

“Itu dia, si Aya!” ujar Winter sambil menunjuk ke tokek yang berada di dalam kandang kecil di kamar Ningning.

“Ini kita umpetin dimana ya, Rina?”

Iya, itulah rencana Winter. Menculik Aya alias Buaya alias tokeknya Ningning, dan tidak akan mengembalikannya sebelum Ningning menerima Giselle sebagai pacarnya. Pemaksaan, ya? Ada-ada aja, bocil…

Mereka mengintip, memastikan Ningning sedang tidak melihat ke arah mereka. Ternyata Ningning dan Giselle gaada di tempat sebelumnya. Mungkin mereka ke ruang bermain? Entahlah. Kemudian, kedua bocil tersebut mengendap-endap, membawa Aya beserta kandangnya. Mereka pun masuk ke salah satu ruangan untuk umpetin Aya.

Winter menempatkan Aya dan kandangnya di pojok ruangan, dibalik pintu. “Rina, ini kamar siapa ya?”

Karina menatap ke salah satu foto yang dipajang di kamar tersebut, menunjukkan dua wanita dengan bibir yang saling bertaut.

“Kamar orangtuanya Ningning, itu Aunty Nini sama Aunty Joy.” jawab Karina.

Winter mengangguk, lalu ikut melihat ke arah tatap Karina.

“Rina, itu lagi ciuman, ya?” tanya Winter.

Karina sedikit menunduk. “U-uh.. I-iya, Winter.”

Winter membuka mulut lagi, “Rina mau cobain ga?”

Pertanyaan Winter membuat mata Karina membulat. Ia terkejut, bisa-bisanya Winter berbicara begitu dengan santainya.

Kemudian percakapan mereka terhenti karena terdengarnya suara tangisan Ningning.


“Buayaaa!! Ning mau Aya! Buaya Ning mana…” ujar Ningning sambil menangis. Ia terkejut saat masuk ke kamarnya dan mengetahui jika tokek kesayangannya tidak ada di tempatnya.

Winter dan Karina masuk ke kamar, melihat Ningning yang meronta-ronta di kasurnya dan Giselle yang sedang (pura-pura) mencari-cari Aya.

Saat Ningning melihat Winter, dirinya langsung menghampiri Winter dan menarik kerah bajunya. “Winter, ya?! Winter ambil Buaya Ning?!”

“E-eng-”

Ningning berbicara lagi, “Ngaku!”

“T-tapi Ningning t-terima Gigi dulu!”

“Terima apa?! Mana Buaya Ning! Balikin!”

“T-terima dulu!”

“Apa sih?! Udah ah! Winter pulang aja! Semuanya pulang! Ning mau cari Aya!” Ningning berteriak-teriak. Kemudian melepaskan pegangannya pada kerah Winter.

Karina menatap adegan di hadapannya tidak percaya. Ia tidak percaya Ningning semarah ini. Pacarnya hingga kena amarahnya itu. Ia pun mengusap-usap punggung Winter.

“Ningning… Winter minta ma-”

“Winter pulang!”

“Ning-”

“Pulang! Ning ga mau tau.” ujar Ningning sambil membelakangi teman-temannya.

Akhirnya, Winter beserta kedua bocil lainnya—Karina dan Giselle—melangkah keluar, berjalan pulang.

Di perjalanan pulang, tidak ada yang berbicara sama sekali. Mereka masih takut dengan Ningning yang semarah itu. Terutama Winter, yang kena amukannya langsung.

Ketika keluar dari pintu kelas, Wina langsung menemukan gadis cantik nan tinggi yang sedang bersandar di balkon sambil memainkan hpnya, siapa lagi kalo bukan Karin.

Wina mengendap-endap kemudian memegang pundak Karin, sama seperti yang Karin lakukan saat pertama kali mereka berinteraksi. Dan sama seperti Wina, Karin juga hampir menonjok pelaku yang memegang pundaknya itu. Untung aja sang pelaku, aka Wina, menghindar.

“Aih, iseng.” ujar Karin. Wina hanya tertawa.

Selama beberapa saat, mereka saling tersenyum menatap satu sama lain. Kemudian Karin membuka mulut, “Udah siap?”

Wina menjawabnya dengan memberi anggukan semangat.


Seperti biasa, Karin membawa mobil. Saat masuk mobil, Wina notice kalo kursi belakang mobil Karin dilipat. Ia ingin bertanya alasannya, tapi takut dikira terlalu ngurusin. Jadi ia mengurungkan niatnya.

Selama perjalanan, obrolan terus mengalir. Mereka berbicara tentang banyak hal. Mulai dari proker yang sedang mereka kerjakan, perkuliahan, hingga hal personal.

Wina bertanya, “Kak, kita mau kemana?”

Karin hanya tersenyum. Ia meraih tangan kanan Wina, kemudian menggenggamnya. Ibu jarinya mengelus punggung tangan Wina.

Karin menoleh sesaat, berkata, “You'll see.

Tangannya digenggam dan dielus. Ditatap. Disenyumin. Dan suara Karin saat berbicara… Wina bisa gila.

Setelah itu, Wina pun hanya bisa terdiam. Berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup sangat kencang.


Mereka sampai di salah satu mall ternama di Jakarta. Karin memarkirkan mobilnya di parkiran lantai atas, tempatnya seperti rooftop tapi banyak mobil-mobil yang parkir.

Karin membukakan pintu untuk Wina, kemudian mereka berjalan bersama memasuki mall dengan tangan yang saling bertaut.

“Wina mau makan apa? Aku yang jajanin.” tanya Karin.

“Umm… Terserah Kakak, deh.”

Karin terkekeh. “Jah… Dasar cewek, terserah mulu.”

Wina pura-pura ngambek. “Kan Kakak cewek juga!”

Akhirnya mereka memutuskan untuk membeli burger di salah satu restoran.

Wina kira, mereka akan dine in, makan disini. Tapi ternyata perkiraan Wina salah. Karin malah meminta pesanannya untuk di take away.

“Loh, Kak? Ga makan disini?” tanya Wina bingung.

Karin hanya tersenyum, kemudian berkata, “You'll see.

Wina hanya menurut.

Setelahnya, mereka sempat membeli boba terlebih dahulu. Kemudian Karin menuntun Wina ke tempat yang ia maksud.

Dan tempat yang ia maksud adalah… Parkiran?

“Kak, ini kita langsung pulang apa gimana?” tanya Wina lagi. Ia sungguh bingung.

“Ya enggak lah. Ngapain aku ngajak kamu jalan kalo gitu? Nih pegangin dulu.” Karin memberikan belanjaan barusan kepada Wina.

Gadis yang lebih tua membuka kunci mobilnya, kemudian bergegas ke bagasi. Membuka pintunya, sehingga terlihat bagian dalam mobil yang tempat duduknya udah di lipat. Ia mengambil selimut dan bantal-bantal yang dia umpetin sebelumnya, kemudian menatanya. Hingga menjadi tempat yang nyaman untuk ditempati.

Wina menghampiri Karin, kemudian memperhatikannya.

Oh… Ternyata…

“Dah, nih. Silahkan masuk, Yang Mulia.” ucap Karin seraya sedikit menunduk layaknya pelayan terhadap ratunya.

Wina perlahan masuk dan duduk di dalam mobil Karin yang sudah beralaskan selimut dan dipenuhi bantal. Terlukis senyum di bibirnya.

Setelah Wina masuk, Karin pun ikut masuk dan duduk di sebelahnya.

Karin mengambil makanan dan minuman yang telah dibeli barusan, kemudian membukanya dan memberikannya pada Wina dulu, baru dirinya.

Mereka sama-sama terduduk di bagasi mobil, memakan makanannya sambil menatap view di hadapannya, yaitu gedung-gedung yang menjulang dan jalanan yang dipenuhi kendaraan.

“Wina.”

Yang dipanggil langsung menoleh, “Iya, Kak?”

“Maaf ya, kalo date-nya cuma gini doang.” ucap Karin.

Mendengar kata date, mata Wina membulat. “D-date?

“Loh, kamu emang gama-”

“G-gagitu! Aku mau! Aku malah seneng kalo ini date, tapi Kakak ga bilang sebelumnya gitu…” sergah Wina.

Karin tertawa kecil. “Well, it's a date, then.

Pipi Wina merona, ia menunduk agar tidak terlalu kelihatan.

Kemudian, Wina teringat apa yang Karin ucapkan, “Eh, Kak. Engga kok, date-nya ngga 'cuma gini doang' kaya yang Kakak bilang barusan. Jujur, aku seneng.” ujar Wina. Karin tersenyum.

Wina kembali bicara, “Aku suka tempat sepi kaya gini, apalagi rooftop. Suka aja gitu, liat pemandangan jalanan dari tempat tinggi. Terutama, kalo ditemenin sama orang yang aku suka, lagi.”

“Kamu suka aku?”

Mata Wina membulat. Ia tak sadar jika dirinya telah berkata seperti itu sebelumnya.

“E-eh, m-maksudnya-”

Dengan senyum manis dan netra yang benar-benar melihat ke wajah Wina, Karin berucap, “Aku juga suka kamu, Wina.”

Wina ingin lompat aja rasanya.

Memasuki gedung perpustakaan, rasanya sudah sepi. Hanya ada penjaga perpustakaan, beberapa dosen, dan beberapa mahasiswa, salah satunya Wina.

Gadis berambut pendek itu tengah duduk di depan komputer. Karin pun menghampirinya.

Ketika sudah dekat, ia menatap keheranan ketika hp yang sepertinya miliknya seperti dijauhkan dari Wina. Kemudian, saat melihat layar komputer, ia melihat Wina sedang searching di Google.

Dapet notifikasi telfon dari diri sendiri di hp sendiri, itu lah yang tertera di search bar-nya. Wina juga sesekali memeluk dan mengusap-usap sisi tubuhnya, seakan-akan ia sedang merinding takut gitu.

Karin menahan tawa.

Gadis berambut panjang nan tebal itu iseng memegang pundak Wina dari belakang, yang hampir dihadiahi tonjokan dari Wina jika saja dirinya tidak menghindar. Wina yang tersadar bahwa seseorang yang hampir dia tonjok itu adalah katingnya, langsung meminta maaf berkali-kali sambil menunduk-nunduk.

Karin terduduk di bangku sebelah Wina dengan senyum lebarnya. Tangannya meraih pundak Wina, kemudian berkata, “Gapapa, Wina.”

Tubuh Wina menegang. Sepertinya ini baru kali pertama ia mendengar kating cantiknya itu memanggil namanya. Terlebih lagi, dengan tangan (yang juga cantik) miliknya yang sedang bertengger di pundaknya.

“K-kenapa, Kak?” gadis berambut pendek itu merutuki dirinya karena tergagap seperti barusan.

Karin tersenyum manis. Wina merasa ia bisa diabetes kalo ngeliat kelamaan, jadi ia memutuskan untuk menunduk.

Karin mengeluarkan hp Wina, menunjukkan lockscreen-nya. “Hp kamu, kan?”

Wina terperangah. Lah… Hp gue kok bisa ada di Kak Karin?

Karin menoleh, menunjuk hpnya, kemudian menatap Wina kembali. “Itu hp aku, yang ada di kamu. Tadi aku yang nelfon, Wina. Ga usah takut.”

Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Karin, pipi Wina merona.

Kak Karin liat apa yang gue search barusan…? Ya Allah, malu.

Karin pun memberikan hp Wina kembali pada pemiliknya, kemudian mengambil hpnya sendiri.

“Wina.” panggil Karin.

Wina mendongak, “Iya, Kak?”

“Hpnya kasih passcode. Bahaya.” Wina mengangguk pelan. “Masih untung hp kamu kebawanya sama aku, yang gaada niat jahat sama sekali. Kalo kebawanya sama orang jahat, gimana?” ujar Karin.

“Iya, Kak. Nanti aku pakein.” ucap Wina yang mendapat senyuman dari Karina. “Makasih, Kak.”

Karin pun mengangguk, seraya berdiri.

“Wina.” panggil Karin lagi.

Sudah berapa kali Karin memanggil nama Wina hari ini? Jantung Wina secara tidak sadar berdegup lebih kencang setiap hal itu terjadi. Namun, Ia juga tak ingin Karin berhenti, bahkan ingin mendengar kating cantik itu menyebut namanya terus menerus.

“Iya, Kak?”

Karin tidak bisa menahan senyumnya ketika melihat Wina. Gadis yang lebih muda itu mendongak, menatapnya dengan tatapan polos yang membuat ia terlihat sangat gemas, seperti puppy.

“Aku duluan, ya.” ucap Karin, tangannya mengacak pelan rambut Wina.

Karin gatau aja, kalo yang jadi acak-acakan bukan cuma rambut Wina doang, tapi hatinya juga. Jantung Wina berdegup tidak karuan.

Karin baru melangkah pergi sebanyak dua kali, tapi dia berhenti lagi. Ia membalikkan badan, melihat Wina yang sedang senyam senyum. Ia pun ikut senyum.

Karin memanggil sekali lagi, “Wina.”

Wina sedikit kelabakan saat mendengar panggilan itu. “I-iya, Kak?”

Lockscreen kamu keren, by the way.

Itu adalah hal yang diucapkan Karin sebelum ia benar-benar pergi. Jantung Wina makin berdegup tidak karuan. Pipinya pun merah merona. Kalo dia lagi ga di perpustakaan, pasti udah teriak-teriak.

Sabtu sore. Karina dan Winter sudah janji untuk jalan-jalan di taman dekat rumah Karina, alias nge-date setelah resmi pacaran.

Mamah Taeng mengantar Winter ke rumah Karina, dan sekalian mau hang out dengan Bunda Irene juga. Tadinya kedua ibu tersebut mau nganter anak-anaknya ke taman, tapi Karina menolak. Katanya ia mau berduaan sama Winter aja. Padahal aslinya karena dua bocil itu mau pacaran. Mamah Taeng dan Bunda Irene pun menuruti, dengan Mamah Taeng yang berusaha keras menahan dirinya agar tidak menggoda dua bocil yang udah pacaran itu.

Karina dan Winter berjalan berdua, dengan tangan yang saling bertaut. Senyum terlukis di bibir mereka, kupu-kupu pun rasanya berterbangan di perut masing-masing. Winter sesekali melontarkan candaan dan menengok, melihat Karina-nya yang terus menunduk dengan senyum malu di bibirnya.

“Rina, liat ada kucing!” seru Winter antusias, kemudian berlari sambil menarik Karina ikut dengannya.

Winter berjongkok untuk melihat kucingnya lebih dekat. Kucingnya lumayan mungil, bulunya berwarna kuning tua. Meskipun itu kucing liar, tapi warga komplek rumah Karina merawatnya, sehingga kucingnya bersih dan terlihat sehat.

Karina ikut berjongkok, kemudian mengelus kucing mungil di hadapannya. “Ini kucing yang suka Rina liat tiap pulang sekolah. Rina juga suka kasih makan, terus Rina namain kucingnya Winnie.”

Winter tersenyum lebar. “Winnie? Kenapa namanya Winnie?”

Karina termenung sesaat. Karena diambil dari bagian nama Winter… Win. Ditambah Nie., ucap Karina dalam hati.

Karena Karina tidak kunjung menjawab, Winter bertanya lagi, “Rina?”

Karina pun tersadar dari lamunannya. Ia memberi alasan, “Uh-uhm… Karena… W-warnanya mirip warna W-winnie The Pooh. Kuning tua.”

Winter pun mengangguk-angguk. Kemudian menjulurkan tangannya dan mulai mengelus kucing tersebut.

“Hai Winnie! Winnie gemes!” ujar Winter.

Pada awalnya, Karina tersenyum melihat pacarnya yang bermain dengan kucing. Tapi lama kelamaan, Karina sedikit khawatir akan Winnie karena Winter ngelusnya full power, ngegas.

Tangan Winter yang bermain dengan Winnie bergerak semakin cepat dan kencang, dan puncaknya, Winter berseru, “MIAAAWW!”

Winnie si kucing pun takut, kemudian kabur, berlari menjauh dari hadapan kedua bocil tersebut.

“Winnie…” ucap Winter sedih.

Sedangkan Karina, ia hanya bisa melongo sambil menatap kepergian Winnie.

Winter menoleh, menatap wajah Karina kemudian berkata, “Winnie pergi…”

Karina pun menoleh juga, mata mereka bertemu. “Ya iya… Winter ngegas banget.”

“Winter kegemesan!!”

“Tapi kalo Winter begitu, nanti Winnie sama kucing lain bakal takut sama Winter.” ucap Karina.

Winter menunduk, “Maafin Winter.”

“Gapapa.”

Karina berdiri, menjulurkan tangannya di depan Winter. Winter yang melihat itu pun meraih tangan Karina dengan tangannya, ikut beranjak berdiri. Karina menuntun Winter ke ayunan besi yang tempat duduknya berhadapan.

Karina terduduk di ayunan tersebut, dan Winter duduk di hadapannya. Karina merapatkan kedua pahanya dan menempatkan kedua sikunya di atas kedua pahanya. Kedua tangannya tersebut digunakan untuk menopang wajahnya.

Setelah berhasil sedikit mengayunkan ayunan tersebut, Winter melakukan hal yang sama dengan Karina barusan, sehingga jarak diantara wajah mereka terlalu dekat. Karina terkejut, karena wajah Winter benar-benar di depan wajahnya. Secara spontan, ia sedikit menunduk dan menutupi wajahnya.

Salah satu tangan Winter memegang lengan Karina, kemudian berkata, “Rina, mukanya jangan di tutupin.”

Mendengar itu, Karina mendongak dan sedikit demi sedikit membuka wajahnya, matanya menatap Winter.

“Nah, gitu dong. Mukanya ga di tutup. Soalnya Rina cantik. Winter suka liatnya.”

Karina pengen kayang aja rasanya.

Winter bohong. Charger miliknya masih ada di kamarnya sendiri, itu hanyalah sebuah alasan agar ia bisa mencari Karina di kamar sebelah.

Ketika Winter masuk ke kamar Ningning dan Karina, terlihat Ningning yang sudah rapi, bersiap untuk pergi. “Buru ambil charger di meja, abis itu pergi! Gue itung sampe 5!” ucap Ningning.

Winter baru saja membuka mulut untuk protes, tapi Ningning keburu berbicara lagi dengan terburu-buru, “Duh gue udah diterror. Yaudah lu ambil gih buru! Pokoknya abis itu langsung keluar! Oh iya, jangan ke kamar mandi!” kemudian mengangkat telpon yang terus berdering.

“Iya, Pak. Mohon maaf, saya sedang terjebak macet.” Ningning menjawab telepon sambil tergesa-gesa menuju pintu, kemudian menutup pintunya. Meninggalkan Winter di kamar.

Emang kenapa gaboleh ke kamar mandi? pikir Winter. Namun ia tak ambil pusing, mengangkat bahu tidak peduli.

Karena Ningning pergi dan Winter juga tidak melihat Karina di kamarnya, ia kembali beranjak menuju pintu. Namun, saat ia memutar knop, pintunya tidak bisa dibuka. Winter terkunci.

“Anjir… Si bangsat, ngunciin gua.” gumam Winter.

Winter tidak bisa keluar kamar. Akhirnya ia pun terduduk di kasur Karina, sambil memainkan Mbul, yaitu boneka beruang Karina yang gembul.

Beberapa saat kemudian, Winter mendengar suara tangisan dari kamar mandi. Mata Winter membulat. “Anjir… Itu hantu? Atau jangan-jangan, Ningning nyulik orang, makanya gue gaboleh ke kamar mandi?!” gumamnya.

Winter mengendap-endap menuju kamar mandi. Suara tangisannya makin kedengeran. Ia bergidik ngeri. Namun, saat mengintip dari bagian bawah pintu, ia mengelus dada lega karena melihat kaki yang menapak.

“Eh anjir, kalo itu bukan hantu… Berarti korban penculikan Ningning?!”

Winter berusaha membuka pintu kamar mandinya, tetapi ternyata terkunci. Winter berseru, “Hey! Korban Ningning! Sabar, gue coba dobrak!”

Mendengar suara Winter, tangisannya langsung berhenti. Sebelum orang yang menangis itu mencegah Winter, pintu udah terbuka duluan. Winter menggunakan seluruh tenaganya untuk mendobrak pintu tersebut.

Ketika pintu terbuka, Winter terkejut.

“Loh, Kayin?”

Perempuan yang disebut namanya menatap Winter sesaat, kemudian kembali menunduk, menangis. Ia sedang terduduk di toilet duduk sambil menangis.

Winter bergegas menghampiri Karina, kemudian berlutut di hadapannya. Ia menatap sahabatnya yang menangis.

“Lo nangis kenapa, Kay? Tell me.” tanya Winter, tangannya menggenggam tangan Karina yang berada di pangkuan gadis tersebut. Ibu jari Winter mengelus punggung tangan yang dipegangnya.

Karina masih terisak. Ia hanya menjawab pertanyaan Winter dengan gelengan.

“Siapa yang nyakitin lo? Bilang gue, ntar gue kasih pelajaran tu orang.” tanya Winter lagi. Matanya menatap Karina penuh harap, berharap gadis yang menangis itu menjawab pertanyaannya.

Namun, yang ia dapat hanya suara tangisan Karina yang semakin mengeras. Air mata yang jatuh makin deras. Karina masih menutup mulutnya rapat.

“Kay... Udah ya, nangisnya? Ayo senyum, lo lebih cantik kalo lagi senyum, tau, Kay.”

Tangan Winter meraih pipi Karina, berusaha menghapus air mata yang terus mengalir dengan deras. Namun, Karina menepis tangan Winter.

Karina akhirnya membuka mulut, nada bicaranya dingin. “Gausah perhatian sampe kaya gitu, kalo lo ga sayang sama gue.”

Winter sedikit mundur. Ia terkejut.

What are you saying? Jelas, gue sayang lo, Kay. Kenapa sih?” Winter berusaha memegang tangan Karina lagi, tapi Karina tepis lagi.

Karina menghela napas, kemudian berkata, “But not in that way.

Winter menautkan alisnya, bingung. “What do you mean?

“Gak kaya rasa sayang gue ke lo.”

“Maksud-”

“Gue sayang lo, Winter. Lebih dari sahabat.”

Winter terdiam. Matanya yang tadinya menatap Karina, beralih menjadi menatap lantai. Ia termenung.

Kayin sayang gue? Lebih dari sahabat?

Suasana kamar mandi menjadi hening. Hanya terdengar deru napas Winter dan isakan tangis Karina.

Setelah terdiam beberapa saat, Winter kembali menatap Karina seraya bertanya, “Sejak kapan? Kenapa ga bilang dari dulu?”

Mendengar pertanyaan Winter, Karina tertawa getir. Dilanjutkan dengan, “Emang lo pernah, seenggaknya, suka sama gue?”

Winter mengalihkan pandangan, terdiam.

Exactly.” Karina tertawa getir lagi.

Winter akhirnya membuka mulut, “I mean, I could-

Karina memutar bola mata. “No, Winter. I know. You never see me the way I see you. It's very clear. Selain itu, I don't wanna ruin our friendship. I don't wanna lose you, 'cause I need you, Win. That's why, I never told you.” jelas Karina. Ia menarik napas panjang, kemudian melanjutkan, “Tapi, semenjak liat lo dan Minju… I can't bear with these feelings anymore, Win. I've been hurting. So much.

Secara tidak sadar, setelah mendengar penjelasan Karina, air mata ikut jatuh dari mata Winter.

“Kay… I-I'm sorry-

Don't say sorry. It's not your fault.” ujar Karina.

Terjadi keheningan selama beberapa saat. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Winter yang tak percaya bahwa sahabatnya memiliki perasaan padanya, dan Karina yang tak percaya ia baru saja confess mengenai perasaan yang ia miliki terhadap sahabatnya.

Tak lama kemudian, tangisan Karina telah mereda. Kemudian Ia memberanikan diri untuk bertanya, “Are you happy with her?

Winter yang tadinya menunduk, kembali menatap Karina tepat di matanya. Tetapi ia tidak tahan, melihat mata Karina yang menyiratkan tatapan sedih. Terlebih lagi, dirinya adalah penyebabnya. Akhirnya ia menunduk lagi.

Y-yes, I am...

That's good, then.

I'm sorry-

Did you not hear me? Don't say sorry.” Karina memotong ucapan Winter. Winter pun langsung menutup mulutnya rapat.

Karina mendongak, wajahnya menghadap langit-langit kamar mandi. Menarik napas, serta menghapus air mata di wajahnya dengan kedua tangannya. Menghembuskan napas panjang, ia berkata, “Now that you found out… I think I need some time alone.

Winter langsung kembali menatap Karina. “Kay…”

Karina menunduk, kedua tangannya memegang kepala bagian kanan dan kirinya. “It hurts, Win. Seeing you… It hurts. So bad.

Menghapus air mata yang secara tidak sadar mengalir sejak tadi, Winter akhirnya berkata, “Alright. Take your time.” Winter menghela napas, kemudian melanjutkan lagi, “Just so you know, I'm always here if you need me. I'm still your best friend, right?

Tangisan Karina kembali pecah. Kemudian ia mengangguk dan berucap, “M-makasih, Winter.”

Setelah beberapa saat, mereka berdiri. Karina mengantar Winter keluar. Sebelum Karina menutup pintu, Winter memeluk Karina terlebih dahulu. Tangan Winter mengusap punggung gadis yang sekarang kembali menangis. Ia berbisik, “I know you don't allow me to say this, but, I'm sorry… I'm really sorry for hurting you.

Menit berlalu, Karina pun mendorong Winter, melepaskan pelukannya. Kemudian bergegas menutup pintu di hadapannya.

Setelah itu, Karina beranjak ke kasurnya. Ia terduduk dengan kaki ditekuk dan punggungnya bertemu dengan headboard di belakangnya. Tangannya disilangkan diatas lututnya, kemudian dahinya diposisikan diatasnya.

Karina kembali menangis, dengan air mata yang mengalir lebih deras. Ia sedikit merutuki Ningning yang membiarkan Winter masuk kamarnya, tetapi di sisi lain, ia juga merasa lega karena telah mengutarakan hal yang ia pendam sejak dulu. Meskipun hasilnya tidak sesuai dengan yang ia selalu impikan selama ini.

Memang, kisah seseorang yang memiliki perasaan pada sahabatnya sendiri... Tidak selalu berakhir bahagia.