aetrocious

Jam pulang sekolah. Siswa-siswi berhamburan keluar kelas, ada yang pulang sendiri, dan ada juga yang menunggu jemputan.

Murid kelas 3B, Winter, Giselle, dan Sungchan masih belum dijemput. Winter ingin menghampiri Karina di kelas sebelah, Giselle dan Sungchan pun memutuskan untuk ikut.

Saat sampai di kelas 3A, ternyata masih ada Karina, Ningning, dan Jeno. Winter langsung melompat ke pelukan Karina. Emang kedua sejoli itu tidak bisa lama dipisahkan.

Daripada mereka diem-dieman nontonin Karina dan Winter yang asik beduaan, akhirnya mereka memutuskan untuk bermain sebuah permainan.

Jadi, satu orang akan ditutup matanya, kemudian diputar beberapa kali hingga sedikit pusing. Sedangkan yang lain mencari tempat untuk mengumpat agar tidak ditangkap oleh orang barusan. (sumpa aku lupa namanya, nyari gugel jg bingung gaketemu huhu intinya cara mainnya begini)

Mereka memulai permainan dengan hompimpa, dan ternyata yang pertama jaga adalah Winter. Mata Winter di tutup dengan dasi pramuka, kemudian badannya diputar beberapa kali. Anak-anak yang lain pun bergegas untuk mengumpat diantara meja dan kursi kelas.

Winter pun mulai berjalan dengan mata tertutup, tangannya meraba-raba. Orang yang terdekat dengannya adalah Sungchan. Sebelum tangan Winter berhasil meraba kepala Sungchan, Karina bergegas bangkit dari tempatnya dan pindah tempat ke depan Sungchan, sehingga tangan Winter jadinya bertemu dengan wajah Karina. Ningning dan Giselle sedikit terkekeh, sedangkan Sungchan berusaha bergeser karena badannya terhimpit Karina dan tembok.

Tangan Winter meraba-raba wajah serta rambut Karina, dan yang diraba berusaha menahan senyumnya. Kemudian Winter berujar, “Rina, ya?!”

Setelah melepas dasi yang diikat di kepalanya dan membuka matanya, hal pertama yang dilihat Winter adalah Karina yang tersenyum manis ke arahnya. (emang dasar bucin, ketangkep malah seneng. hdeh.) Winter pun ikut tersenyum.

“Winter bener!” seru Winter.

Ronde kedua, giliran Karina yang jaga. Mata Karina ditutup dan badannya diputar beberapa kali. Setelah itu, ia berjalan dengan mata tertutup sambil meraba-raba, seperti Winter barusan. Saat Karina mulai berjalan ke arah Jeno, Winter dengan sigap menghampiri Jeno. Kemudian ia sedikit mendorong-dorong Jeno sambil berbisik, “Jeno sonoan, ih. Jangan sampe Rina megang Jeno!”

Jeno hanya menatap Winter keheranan kemudian menurutinya. Karena Jeno sudah bergeser, tangan Karina bertemu dengan tembok dan dirinya pun berjalan ke arah lain.

Karina berjalan ke arah Ningning. Saat Ningning ingin pindah, Giselle yang iseng itu menahannya. Ningning panik, berusaha melepas pegangan Giselle, sampe kelepasan ngomong, “GIGI IH!”

Mendengar itu, Karina tertawa. Tangannya dijulurkan ke depan, dan tepat jatuh di kepala Ningning. Sambil melepas ikatan dasinya ia berucap, “Ningning, ya?”

Saat Karina membuka matanya, ia melihat Ningning yang cemberut dan Giselle yang tertawa. Ia pun ikut tertawa.

Ketika ingin memulai ronde ketiga, Jeno dan Sungchan ternyata sudah dijemput. Jadi hanya tersisa Karina, Winter, Giselle, dan Ningning. Mereka memutuskan untuk menyudahi permainan dan duduk di sekitar bangku Karina.

Karina dan Winter duduk di bangku barisan pertama dengan Ningning dan Giselle yang duduk di belakangnya. Bangku Karina dan Winter diputar 180° sehingga menghadap Ningning dan Giselle yang ada di belakangnya.

“Ah, Rina aus. Tapi minum Rina abis.” ujar Karina.

Winter yang mendengar itu pun langsung mengambil botol minumnya dan memberikannya pada Karina. Karina menerimanya, dan tak lupa, melemparkan senyum pada Winter sebagai tanda terima kasih.

Karina minum dengan terburu-buru, sehingga sedikit tersedak. Winter dengan sigap menepuk-nepuk punggungnya dan membantu mengelap air yang membasahi sekitar bibir Karina. Pipi Karina memerah.

“Pacaran mulu.” celetuk Ningning.

Winter langsung menoleh, menatap Ningning. “Siapa yang pacaran?”

“Ya kalian berdua, lah. Siapa lagi?” ujar Ningning.

Winter menautkan alisnya. “Tapi Rina sama Winter ga pacaran? Kan Rina sama Winter belom boleh pacaran.”

Ningning membuka mulut lagi, “Pacaran diem-diem kan bisa?”

Giselle ikut menimpali, “Kalian juga udah kaya orang pacaran... Mending pacaran beneran sekalian aja, ga sih? Keburu Winter-nya diambil Sungchan, Rin. Sungchan ketara banget kalo suka sama Winter tau.”

Ningning mengangguk-angguk, kemudian berkata, “Lagian, kalian sama-sama suka kan?”

Mendengar ucapan Ningning, Karina dan Winter saling bertatapan.

Emang iya, kita saling suka?

Dua tahun berlalu.

Dua tahun semenjak Minjeong membuat Jimin merasakan kupu-kupu diperutnya, tetapi sekaligus menghancurkan hatinya.

Dua tahun semenjak Minjeong pergi dari Jimin untuk selama-lamanya.

Dua tahun berlalu, tetapi Jimin masih merutuki dirinya. Penyesalan yang dirasakan begitu dalam, ia benci pada dirinya yang selalu mendahulukan hal lain dibanding Minjeong pada saat itu.

Dua tahun berlalu, dan Jimin baru mengunjungi pemakaman Minjeong hari ini. Selama dua tahun, ia belum berani mengunjungi Minjeong. Ia merasa bersalah akan perlakuan dirinya pada Minjeong.

Angin berhembus kencang, menyebabkan rambut Jimin yang lebat berkibar mengikuti arah angin. Cuaca hari ini seperti mendukung suasana hati Jimin. Langitnya mendung, hampir gelap. Tetes-tetes air berjatuhan, tetapi Jimin tidak peduli. Ia ingin menemui Minjeong.

Jimin terduduk di atas gundukan tanah didekat batu nisan bertuliskan 'Kim Minjeong'. Hanya dengan menatap tulisan itu, air mata Jimin sudah jatuh.

Tangan Jimin meraih batu nisan tersebut, memegangnya. Kemudian setelah beberapa saat, ia membuka suara.

“Minjeongie.”

Rasanya telah lama sekali semenjak ia menyebutkan nama itu secara lantang. Air mata Jimin masih terus jatuh dengan deras.

“Minjeongie… Jimin kangen.” ucapnya.

Selama beberapa menit, keheningan menyelimuti. Tetes-tetes air dari langit masih berjatuhan, membasahi apapun yang ada di bawahnya, termasuk Jimin. Rambut dan bajunya mulai basah.

“Minjeong.. Aku mau minta maaf. Aku minta maaf baru bisa kesini sekarang. Aku merasa bersalah, Jeongie. Aku merasa… Aku ga deserve buat nunjukkin muka aku di hadapan kamu.” ucap Jimin sambil terisak.

“Minjeong… Aku juga mau minta maaf buat perlakuan aku ke kamu, yang selalu ngedahuluin hal lain dibanding kamu. Kamu bener, apa susahnya sih buka playlist? Lima menit aja ga nyampe. Aku emang bangsat banget. Aku bener-bener nyesel. Senyesel itu. Bahkan kalo ditanya apa penyesalan terbesarku, aku bakal jawab itu.” ujar Jimin dengan air mata yang masih jatuh dengan deras, ditambah dengan air hujan yang jatuh ke wajahnya.

Jimin menarik napas dalam, kemudian berkata, “Minjeong, aku juga mau minta maaf, aku ga langsung dengerin lagu-lagu yang kamu kasih pas itu. Tapi kamu tau ga? Aku masukin lagu-lagu yang kamu kasih ke dalem satu playlist, dan aku selalu denger playlist itu tiap hari. Terutama disaat aku kangen sama kamu. Tiap denger itu, rasanya kaya kamu masih ada di sisi aku, Jeong.”

Setelah hening selama beberapa saat, Jimin kembali bicara, “Oh iya, Jeong. Kamu penasaran ga sama jawaban aku buat playlist kamu? Jawabannya iya, Jeong. Aku juga sayang kamu, dan aku mau jadi pacar kamu, Minjeong.” Jimin tersenyum, tetapi hatinya berkata lain. Hati Jimin seperti ditusuk-tusuk, rasanya sakit. Kemudian ia melanjutkan, “Bahkan sampe sekarang, aku masih sayang kamu, Jeong. Aku udah coba sama orang lain, tapi gagal terus. Padahal kamu udah gaada, tapi kok masih ada aja ya di pikiranku? Di hatiku juga, hati aku masih tetep milik kamu seutuhnya. Padahal aku masih bukan siapa-siapanya kamu, ya?” Jimin tertawa getir.

Hujan semakin deras, tetapi Jimin tidak peduli. Seluruh tubuh Jimin sudah basah. Air matanya sudah bercampur dengan air hujan.

Jimin mendekat ke arah batu nisan Minjeong, kemudian memeluknya. Jimin tidak peduli akan tatapan orang lain jika ada yang melihatnya. Ia sangat merindukan Minjeong.

“Dua tahun berlalu, dan aku masih sayang kamu, Minjeong.”

Kayra tidak kuat menahan tangisannya.

Di satu sisi, ia merasa lega karena kembarannya mendapatkan pasangan yang menurutnya baik. Tapi di sisi lain, ia sakit hati. Kenapa bukan dirinya yang dipilih Wina?

Kayra sedang terduduk di atas kasur, posisinya memojok di antara tembok dan headboard. Ia melipat kakinya, tangannya menyilang diatas lututnya, kemudian kepalanya menunduk dengan jidat yang bertumpu di tangannya itu.

Ia mendengar suara pintu terbuka dan tertutup lagi. Baru saja ia ingin mengumpat dalam selimut, berjaga-jaga jika itu salah satu dari orang tuanya. Namun, suara yang terdengar dari orang tersebut mengagalkan keinginannya barusan.

“Kayra.” itu suara Karin.

Kayra tidak jadi merubah posisi dan masih setia dengan posisi sebelumnya, di pojokan.

Karin menghampiri saudara kembarnya, duduk dihadapannya. Ia memegang wajah Kayra, kemudian mengangkatnya agar tidak menunduk lagi. Terlihat wajah Kayra yang penuh air mata. Melihat itu, hati Karin rasanya seperti teriris. Kembarannya itu bisa dibilang jarang menangis.

Tangan Karin berada di kedua pipi Kayra, jempolnya bergerak untuk menghapus air matanya.

Baru saja Karin membuka mulut, “Kayr-”

Congrats, Rin.” ujar Kayra sambil memaksakan senyum.

Karin menggeleng. “Ra-”

“Seharusnya gue ngalah aja dari awal, ya? Orang Wina juga sukanya sama lo.” Kayra memotong Karin lagi.

“Kayra-”

Lagi-lagi, ucapan Karin dipotong. “Wina buat pilihan yang tepat, sih. Lo serius sama dia. Selain itu, udah berpengalaman juga lagi. She deserves you, Kay.” Kayra menarik napas, kemudian menghembuskannya. “I'm happy as long as you're happy, Kayin. Gausah pikirin gue, gapapa. Gue ikhlas-”

“Kayra Dinata.” ucap Karin tegas. Kayra langsung bungkam.

“Lo bisa gausah nyerocos, motong omongan gue ga sih? Dari tadi gue mau ngejelasin ke lo!” nada bicara Karin sedikit naik. Jika sisi tegas Karin udah keluar, Kayra pun menciut.

Untuk merespon ucapan Karin barusan, Kayra mengangguk pelan. Ia menunduk lagi, tidak berani menatap mata Karin.

“Kayra.” ucap Karin. Kayra masih menunduk.

“Kayra, kalo diajak ngomong tuh liat orangnya.” mendengar itu, Kayra mendongak pelan-pelan.

Karin memegang kedua pundak Kayra, kemudian berkata, “Gue dan Wina… There's no us. We're not together.”

Kayra menatap Karin bingung.

She also confessed that she has feelings for me… Tapi ujung-ujungnya gue tolak.”

Kali ini, tatapan bingung Kayra berubah jadi tatapan keheranan.

Kayra membuka mulut, “What are you-

“Belom selesai. Let me finish first.

Kayra bungkam lagi.

“Iya, gue seneng. Banget, malah. Siapa sih yang ga seneng kalo orang yang kita suka, suka balik sama kita? Tapi… Rasa bersalah karena gue bakal nyakitin lo, dan rasa ketakutan gue akan kehilangan lo, jauh lebih besar dari rasa seneng itu, Ra. Sebagai sodara, apalagi kembar, gue ngerasa punya kewajiban buat selalu protect lo, bukannya nyakitin lo. Gue benci liat lo sedih, apalagi kalo penyebabnya gue. Ngebayangin lo nangis disaat gue seneng jalan sama Wina aja bikin gue pengen nangis juga, Ya.” Karin menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. “Selain itu... Iya, gue suka sama Wina. Tapi gue sayang sama lo, Ya. Gue masih bisa ngebayangin hidup gue tanpa Wina, tapi gue ga bisa ngebayangin hidup gue tanpa lo, Kayya.”

Air mata Kayra yang tadinya sudah berhenti, berjatuhan lagi setelah mendengar penjelasan saudara kembarnya itu.

“Ya, loh kok nangis… Jangan nangis.” Karin berusaha menghapus air mata Kayra. Namun, Kayra menahan tangan Karin yang tadinya ingin menghapus air mata Kayra. Kemudian, Kayra sedikit maju dan memeluk saudara kembar di hadapannya.

“Kayin… Lo dangdut banget, jujur. Tapi gue jadi terharu.” ucap Kayra ditengah pelukan. Kedua tangan Karin juga melingkar di tubuh Kayra. “Jujur gue rada jiji ngomongnya, tapi gue juga sayang sama lo dan gamau kehilangan lo, Kayin.”

Mendengar itu, Karin mempererat pelukan mereka.

“Dan kalo misalnya gue yang dipilih Wina, I think I'd do the same.” Kayra mengakhiri kalimatnya.

Setelah beberapa saat, mereka melepaskan pelukannya. Senyuman lebar terlukis di kedua bibir gadis dengan wajah identik tersebut.

Tiba-tiba Kayra teringat Wina, kemudian berkata, “Tapi kalo dipikir-pikir, Wina kasian juga, udah tiba-tiba disuruh milih, terus lo tolak. Emang gapunya hati lo, Kay.”

“Heh, justru gue punya hati, ya! Gue mikirin perasaan lo.” protes Karin yang menyebabkan tawa Kayra pecah. “Eh.. Tapi kalo dipikir-pikir lo bener juga sih. Kasian, ya? Udah disuruh milih malah ditolak? Aduh, abis gimana ya… Otak gue suka gabisa berkompromi jadi sadarnya telat. Coba aja, gue ngalah dari awal gitu, kita gaperlu berantem, dan Wina gaperlu disuruh milih. Maaf, Kayya.” kemudian Karin mengakhiri kalimatnya dengan, “Maafin juga, Wina.” meskipun orangnya gaada disana.

Kayra memegang tangan Karin, ibu jarinya mengusap punggung tangan Karin dengan pelan. “Apa, ih? Ga usah minta maaf, Kayin. Lagian kalo lo ngalah juga, kan Wina sukanya sama lo? Dan kalo soal Wina… Gue gatau juga sih. Semoga dia baik-baik aja.” Kayra sedikit terkekeh, kemudian melanjutkan kalimatnya, “Terus juga, pengalaman gitu, berantem sama gue. Kapan lagi kan, lo berantem sama gue sampe kaya gini?”

Mendengar itu, Karin tertawa. “Bener juga.” kemudian dilanjut dengan, “Seriusan deh, gue gapernah ngira sekalipun kalo penyebab berantem besar kita itu gara-gara suka orang yang sama. I mean, knowing you...

Right. Ga lagi-lagi, deh. Kalo berantem terus baikan gini, gue jadi ikutan dangdut gara-gara lo, elah.” ucap Kayra seraya memutar bola matanya. Karin sok-sok cemberut, kemudian bibirnya dihadiahi sentilan dari Kayra.

“Eh anjir, gue jadi inget AU yang lo ceritain, Kay!” Karin menatap Kayra bingung, berusaha mengingat AU yang mana, karena dirinya bacot dan cerita mulu. “Yang itu, yang kata lo karakternya sodaraan terus berantem gara-gara suka orang yang sama.”

“OOOH… IYA, INGET!”

Moral of the story, jangan baca AU. Nanti kejadian.” ujar Kayra yang direspon dengan tonjokan pelan dari Karin.

“Ya gagitu, tolol.”

Beberapa saat kemudian, keadaan sudah kembali normal. Si kembar udah ngobrol kaya biasa lagi. Namanya juga sodara kali ya, jadi baikannya cepet.

Karin memperhatikan wajah Kayra yang tadi menangis, kemudian tertawa sendiri.

“Ih serem lo anjir, ngapain ketawa sendiri?”

“Mata lo… AHAHA. Mata lo gendut, anjir.” ucap Karin sambil tertawa, jarinya menunjuk ke arah mata Kayra.

“Emang sebengkak itu ya?” Kayra langsung mengambil ponselnya dan membuka kamera untuk bercermin.

“Mayan… Dah yuk, jangan nangis makanya. Jangan sedih-sedih lagi.” Karin mengusap punggung Kayra. “Ayo lupakan masa lalu, mari kita cari cewek baru.”

Mendengar kalimat terakhir Karin, Kayra menepuk jidat. Menepuk jidat Karin, maksudnya.

“Lo ngajak cari cewek udah kaya ngajak cari jajanan SD. Orang sinting.”

Karin hanya menyengir.

“Tapi nanti kalo lo suka sama orang, langsung ceritain! Gamau gue, rebutan lagi. Cape.” ujar Karin.

“Lo juga, anjir. Gausah sok misterius gamau ngasihtau namanya.” Kayra memutar bola matanya.

“HAHAHA. Diem lo!”

Karin melompat dan memeluk Kayra hingga tubuh keduanya terjatuh ke kasur. Lagi lagi, kamar Kayra dipenuhi dengan suara tawa kedua perempuan tersebut.

Malam itu diakhiri dengan si kembar yang tertidur bersama di kamar Kayra. Karin menawarkan diri untuk menginap, padahal sudah Kayra tolak. Tapi sebenernya Kayra seneng juga sih, kangen tidur bersama sodara kembarnya.


Bagaimana dengan Wina?

Wina… Sedang termenung di kamarnya. Semuanya terjadi begitu cepat. Diawali dengan dirinya yang datang untuk menjemput Karin, sarapan dengan Kayra, ke Sea World bersama keduanya, disuruh memilih diantara mereka, dan diakhiri dirinya yang tertolak setelah memilih. Bayangkan, semua itu terjadi dalam kurang lebih satu hari.

Sejujurnya, Wina speechless. Jadi cuma bisa bengong.

What a memorable experience…

Hari ini Kayra ada urusan per-OSIS-an. Jadi pulangnya telat. Ia pulang bersama beberapa temannya yang searah. Saat ia hendak masuk ke gerbang, ia melihat seseorang menaiki motor, sepertinya baru saja berkunjung dari rumahnya. Namun karena sudah malam, ia tidak bisa melihat dengan jelas siapa orang itu.

Ketika ia menengok ke arah pintu rumah, terlihat Karin yang dadah-dadah ke arahnya.

Ah… Pasti orang tadi tuh crush-nya Karin.

“Dih, kenapa lu cengengesan?” tanya Kayra begitu ia dekat dengan Karin.

Karin menyengir, kekehan keluar dari mulutnya. “Hehehe… Tadi crush gue abis main ke rumah.”

Kayra memutar bola mata. “Crush yang keberapa di bulan ini, nih?”

“Ih, tai lo. Yang kali ini serius, gue bener-bener suka sama dia. Bahkan gue rela deh kalo nanti gue yang nembak dia duluan. Kan biasanya gue gengsi.” jelas Karin. Masih cengar cengir.

Mereka mengobrol sambil berjalan. Karin mengikuti Kayra hingga ke kamarnya.

“Gila. Sebuah keajaiban, seorang Karin Dinata serius sama gebetannya sampe mau nembak duluan. Wow.” ujar Kayra melebih-lebihkan, yang kemudian dihadiahi tonjokan pelan dari Karin.

“Ya gimana ya… Orangnya tuh baik banget, caring abis. Terus gentle, sabar juga. Terus cantik! Aduh, gausah ditanya. Dia anak basket juga, mana keren-”

Kayra menggeleng-geleng sambil terkekeh. “Iya, iya. I get it, crush lo perfect.”

Karin merebahkan tubuhnya di kasur Kayra. Ia masih cengar cengir. Masih dalam seragamnya, Kayra juga ikut rebahan di kasurnya, di sebelah Karin. Ia memposisikan tubuhnya sehingga dirinya menghadap Karin.

Kayra membuka mulut, “Namanya siapa, Kay?”

Karin yang masih menyengir itu pun menjawab, “Gamau kasihtau ah, biar misterius.”

“Dih, najis.” tukas Kayra sambil memutar bola mata.

“Tapi jujur, gue turut seneng kalo lo serius gitu. Kerasa beda juga sih, lo bener-bener keliatan berbunga-bunga sekarang. Ga kaya yang biasanya.” Kayra terkekeh. “Gue juga kasian sama crush-crush lo itu. Kaya waktu itu, masa lo pacaran cuma tiga hari… Kan lucu.”

Karin ikut tertawa, mendengar hal itu. Memang kocak, dia juga gangerti kok bisa-bisanya dulu dia pacaran cuma tiga hari. Pacaran macam apa?

“Anjir lah, jangan diinget lagi.” ujar Karin ditengah tawa. “Kali ini gaakan tiga hari doang! Malah, gue berharap bisa selamanya sama dia.” lanjut Karin, masih cengar cengir.

“Aamiin. Semoga lancar, ya. Semoga crush lo suka lo balik juga.” ucap Kayra. Karin mengamini lalu memeluk tubuh kembarannya itu.

“Makasih, Kayya!!” ucap Karin ditengah pelukan.

Selama beberapa menit, kamar Kayra diisi dengan keheningan, hanya ada deru napas dari kedua gadis dengan wajah identik itu.

Kayra terduduk, kemudian berucap, “Eh, Kay. Gue mau ngomong sesuatu.”

Karin yang sudah terlihat lemas karena ngantuk langsung bangkit dan duduk tegak. “Oh my god, ada apa ini?! Kok serius banget… Lo ga hamil kan?”

Karin kena tabok.

“Tolol. Orang gue aja demennya cewek.” mendengar ucapan Kayra tersebut, Karin tertawa.

Gay.” goda Karin.

Kayra terkekeh. “Lu juga, anjrit.”

“Ya iya, sama.”

Mereka pun tertawa.

Setelah tawa mereka mereda, Karin bertanya, “Anyway busway, tadi lo mau ngomong apa, Ya?”

Kayra terlihat nervous, jarinya sibuk memainkan ujung roknya. Ia memberanikan diri untuk membuka mulut, “Gue… Gue lagi suka sama orang.”

Kayra berucap di dalam hati, Karin heboh in 3… 2… 1

“HAAHH DEMIAPA? SIAPA? ANAK MANA? KELAS BERAPA? CANTIK GA? KETEMU DIMANA? ANAKNYA KAYA GIMANA?” pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan Karin. Ngantuknya Karin barusan seperti seketika hilang, karena sekarang ia terlihat semangat sekali.

Kayra hanya bisa menepok jidat. Bener kan, dugaan gue. Pasti bocah ini heboh.

Kayra menutup mulut Karin dengan tangannya. “Kenapa sih, lo heboh banget? Orang gue cuma suka sama orang doang.”

Karin menarik tangan Kayra yang menutup mulutnya dengan paksa, kemudian berkata, “HEH! Kalo buat lo tuh, itu bukan 'doang', ya! Kapan lagi lo cerita kalo lagi suka sama orang ke gue? Kalo lo cerita, gue tau, pasti serius.”

Kayra hanya senyam senyum, pipinya memerah.

“Ciaelahh, Kayya lagi demen sama orang nih.” goda Karin. Kayra menaboknya pelan.

“Tapi seriusan, Ya. Jawab pertanyaan-pertanyaan gue barusan, elah. Kalo gue tau nama dan dia anak mana kan siapatau gue bisa bantu. Lo tau kan gue kenal seisi sekolah bahkan luar sekolah?” ucap Karin sambil menepuk-nepuk dadanya. “Bakal gue bantu, tenang aja. Kapan lagi kembaran gue begini? Gila, harus sampe jadian ini sih.”

Kayra tertawa, lagi-lagi memukul Karin pelan. “Lebay lo.”

Karin memutar bola matanya. Kemudian mendekat ke arah Kayra, memegang kedua tangannya. Ia sedikit melompat-lompat di kasur Kayra karena excited. “Ayoo, kasih tauu!”

“Okay… Pokoknya orangnya cantik, bisa ganteng juga lagi. Anak basket, satu sekolah sama kita juga. Baik, banget-”

Karin menaruh telunjuknya di bibir Kayra, mendiamkan kembarannya tersebut. “Udah, udah. Iya, tau, crush lo sekeren itu di mata lo. Yang gue tanyakan paling utama namanya ni. Siapa namanya?”

“Namanya W-”

Ponsel Kayra berbunyi, menandakan telepon masuk.

“Ah telepon tai!” cetus Karin.

Kayra tertawa terbahak-bahak, sambil bangkit untuk mengangkat teleponnya. Ternyata itu dari teman per-OSIS-annya, jadi teleponnya rada lama, bahas proker.

Tadinya Kayra hendak melanjutkan ceritanya setelah teleponnya selesai, eh, tapi ternyata Karin udah tidur di kasurnya. Melihat itu, Kayra tersenyum dan menutupi tubuh Karin dengan selimut. Membiarkan kembarannya itu tidur di kamarnya.

“Kayyaa~ Kayyaaa~ Mau peluk!”

Karin sedang menginvasi kamar Kayra. Sekarang dia sedang gelendotan di badan Kayra. Kayra sedang berdiri di dekat meja, baru saja men-charge ponselnya. Karin yang clingy itu melingkarkan tangannya di perut Kayra, memeluknya dari belakang.

“Kayya kok ga peluk Kayin balik, sih?” Karin protes, karena kembarannya tidak merespon dirinya sama sekali. Karin pun memutar badannya, lalu menyusupkan kepalanya diantara kedua tangan Kayra yang sedang mengetik sesuatu di ponsel. Tangan Karin masih setia melingkar di perut Kayra. Saat Karin mendongak untuk melihat wajah kembarannya, ia melihat Kayra yang sedang senyam senyum.

“Ih, Kayya cengar cengir sendiri! Lagi chat sama crush, ya?” goda Karin.

“Sshh.”

Karin ikut tersenyum, melihat kembarannya yang terlihat sedang berbunga-bunga. Ia jadi penasaran siapa pelaku yang menyebabkan kembarannya seperti itu.

Karin yang penasaran pun melepas salah satu tangannya dan sedikit membalikkan badannya. Kepalanya menengok untuk melihat nama orang yang sedang berkirim pesan dengan kembarannya.

Ketika Karin melihat namanya, senyumannya langsung hilang. Hatinya mencelos.

Wina..?

Karin melepaskan dirinya dari Kayra, kemudian berdiri di hadapannya.

“Ra?”

Mendengar suara kembarannya yang sedikit crack, Kayra langsung menaruh ponselnya dan menatap gadis di hadapannya.

“Kenapa, Rin?”

Karin menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya. “Itu.. Yang lagi lo chat… Crush lo?”

Kayra bingung. Kenapa Karin jadi keliatan kecewa gini? Bukannya sebelumnya dia excited?

“I-iya..” jawab Kayra ragu.

Karin telah berusaha menahan tangisnya sekuat tenaga, tapi gagal. Satu air mata jatuh di pipinya.

“Lo gaboleh… G-gabisa….” Karin bergumam pelan. Namun Kayra masih bisa mendengarnya.

“Kenap-”

“Lo inget ga? Crush gue yang waktu itu gue bilang? Yang gue bilang, gue mau serius sama dia?” tanya Karin. Matanya berkaca-kaca.

Kali ini, Kayra punya satu ketakutan terbesar. Ia sangat berharap agar ketakutan tersebut tidak terjadi.

Kayra pun menjawab dengan ragu, “I-inget. Kenapa?”

She's… She's the same p-person… She's.. Wina. She's Wina. The crush I was talking about is Wina.

Deg.

Ketakutan terbesar Kayra kejadian. Mereka menyukai orang yang sama.

Mendengar perkataan Karin, Kayra hanya bisa terdiam. Begitupun Karin.

Setelah terjadi keheningan selama beberapa saat, Karin melangkah keluar, diiringi dengan suara pintu yang dibanting.

Kayra hanya bisa terduduk dengan tatapan kosong. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia sangat ingin kembarannya bahagia, tetapi ia juga tidak mau melepaskan Wina.

“Kayya, udaah?”

“Dah, yuk.”

Kayra memakai seatbelt kemudian merapikan barang-barangnya, sedangkan Karin menancap gas. Kayra telah memberikan dokumen yang dimaksud kepada temannya, sekarang mereka mau jalan pulang.

“Eh, Kay, ke McD dulu. Drive-thru, ya.” ujar Kayra, yang direspon dengan anggukan dari Karin.

Setelah sampai di Drive-thru McD, Kayra langsung memesan, sedangkan Karin sibuk dengan ponselnya. Ia sebenernya berencana untuk diet, makanya main hp biar diem gaikut mesen.

Usai memesan dan membayar, mereka turut mengantri sebelum menerima pesanan barusan. Kebetulan, masih ada beberapa mobil di depan mereka. Daripada mobilnya hening, Karin pun membuka suara. “Eh, Ra. Masa kemaren gue baca AU-”

“Dih anjir, baca AU homo mulu lu kerjaannya.” celetuk Kayra yang dihadiahi tonjokan pelan dari Karin.

“Daripada lo, anime mulu anjir. Lariii ada wibuu!!” Kayra pun memperlakukan Karin sama seperti Karin memperlakukannnya barusan, menonjoknya pelan.

“Udah ah gue mau cerita. Jadi di AU-nya tuh ada karakter yang sodaraan gitu, terus ga pernah akur mulu gitu deh. Puncaknya pas mereka sama-sama suka orang yang sama. Buset, berantemnya…” Karin bercerita dengan semangat, tangannya ikut bercerita juga, memperagakan ini-itu. Kayra memposisikan badannya sehingga ia menghadap Karin. “Gue jadi mikir, gue bersyukur deh… Kita gapernah berantem yang bener-bener berantem gitu. Apalagi suka orang yang sama. You're basically asexual aromantic anjir, pernah suka sama orang ga si lo?!”

Satu pukulan pelan mendarat di pundak Karin. “Ya pernah, lah! Tapi gue ga bilang lo. Soalnya lo bacot.”

Karin menatap Kayra seakan ia tersinggung, “Ih kok lo gitu sih? Gue aja ngasihtau tiap gue punya gebetan atau pacar… I feel betrayed, Twinnie.

“Gebetan lu aja gonta ganti tiap minggu kali. Lagian lo juga mana bisa nutup mulut? Nyerocos mulu itu cocotmu.”

“Ya! Bukan salah gue kalo ada banyak orang yang deketin gue. Eh kebetulan, gue-nya baper. Jadi… Gitu.” Karin berusaha menjelaskan.

“Iya deh, iya.” ujar Kayra, memutar bola matanya. “Nah tuh kan, pantes aja kita jarang berantem, orang gue ngalah mulu. Lu manja.” ujar Kayra sambil tertawa, terutama karena melihat wajah kembarannya yang menunjukkan ekspresi sok marah.

“Gue pernah ngalah, ya! Waktu kelas 2 SMP, kita sekelas, dan gue ngalah biar lo dapet ranking 1.” Karin menyilangkan tangan di depan dadanya, kemudian tersenyum bangga. Kayra menggeplak kepalanya.

“Dih, itumah lo-nya aja yang bego!” ujar Kayra, tentunya bercanda. Karin pura-pura ngambek.

“Heh, gue ga ranking 1 juga dapet ranking 2, ya!” bela Karin. “Waktu itu juga gue lagi sibuk basket sama OSIS, sedangkan lo OSIS doang. Lagian ya, mana bisa ada dua orang yang ranking 1 dalam satu kelas?”

Gelak tawa terdengar dari mulut kedua perempuan kembar tersebut. Setelah tawanya mereda, Karin berbicara lagi, kali ini sedikit pelan. “Tapi, kayanya buat Mama Papa tuh, ranking 1 or nothing, ya? Pas itu gue diomelin, Ra. Gatau lo denger atau ngga.”

Kayra menatap Karin sedih. “I'm sure kalo gue yang dapet ranking 2 gue juga digituin, Rin.”

“Masa sih? Gue ga yakin, ah. Kayanya lo gapernah diomelin sampe bener-bener diomelin sama Mama Papa. Gue sering…” protes Karin.

“Ya.. Gimana ya, Rin. Gue kan kalo diomelin diem, terus iya-iya aja. Lo pernah liat diri lo sendiri pas diomelin ga sih? Jujur, muka lo nyolot banget, nantangin gitu. Mana suka ngejawab. Gimana orang ga makin emosi.” jawab Kayra jujur. Karin menunduk malu.

“Emang iya, ya, Ra?” Kayra hanya meresponnya dengan memutar bola matanya.

Pesanan mereka sudah selesai, Karin langsung mengambilnya dan memberikannya pada Kayra. Saat Karin bersiap menjalankan mobil lagi, satu cup McFlurry ditempatkan di pangkuannya.

“MCFLURRY???” ucap Karin dengan mata berbinar. “Tapi perasaan gue ga pesen?”

“Iya, gue pesenin tadi. Gue tau itu kesukaan lo.” jawab Kayra yang sedang sibuk dengan jajanannya.

“Padahal gue niatnya mau diet…”

Mendengar kata 'diet', Kayra langsung berhenti dari kegiatannya. “Apa lo bilang? Diet? Fuck, lah, Kay. Badan lo udah bagus, lo juga sehat. Buat apa lagi?” Kayra nyerocos, matanya menatap Karin tajam.

Namun, yang diomelin bukannya takut, malah menatap Kayra terharu. “Kayya… Kenapa lo jadi kembaran gemes banget sih? Gue jadi makin sayang nih.” ucap Karin sambil mendekat ke arah Kayra dan merentangkan tangan untuk memeluknya.

“Anjir, Rin, ah. Najis lu. Lu demen ama gue ya?!” protes Kayra, menjauhkan Karin dengan cara mendorong jidatnya.

“Iya, Kayya. Kayin insect nih.” goda Karin.

Incest, anjir.”

“Eh, speaking of insect… Kan kita kembar juga tuh kaya Connell Twins, kita ga mau bikin onlyfans juga?”

Satu pukulan dari Kayra melayang ke kepala Karin.

Besok hari Sabtu. Pertemuan ekskul basket akan diadakan pukul 9 pagi. Sebenernya pertemuan hari ini bisa dibilang ga penting, makanya Karin mager. Tapi karena Wina mau jemput, Karin jadi semangat. Karin tertidur dengan senyuman di wajahnya, membayangkan dirinya yang akan dijemput oleh Wina besok.


Wina agak telat bangun, jadi baru sampai di kediaman keluarga Dinata pukul 08:45, cukup mepet. Ketika memencet bel, seseorang yang membuka pintunya adalah Kayra. Terlihat gadis cantik dengan senyumannya itu menyapa Wina.

“Wina? Ngapain?” tanya si pemilik rumah.

“Mau jemput Kayin.” jawab Wina. Senyum Kayra meluntur, tapi tentu saja Wina tidak menyadari hal itu.

Setelah terdiam sejenak, Kayra pun menjawab, “Karin belom bangun, masuk aja dulu.”

Kayra membawa Wina ke ruang tengah, menyuruh Wina duduk di sofanya.

“Buru-buru?”

Wina menimbang-nimbang jawaban apa yang harus diberikan. Sebenernya iya, karena pertemuannya bentar lagi. Tapi kalo dipikir-pikir, gaenak kalo harus ganggu tidurnya Karin, lagian pertemuannya ga penting juga. Akhirnya Wina menjawab, “Um, ga juga sih.”

Kayra tersenyum. “Lo pilih aja mau nonton apa, gue bikinin sarapan, ya? Pasti belom sarapan, kan?”

Wina sedikit bangun untuk menahan Kayra, “Belom sih.. T-tapi gausah, Ra. Takut ngerepot-”

“Enggak, Win. Udah tunggu aja.” Kayra langsung perdi menuju dapur, meninggalkan Wina yang terduduk di sofa lagi.

Usai membuat sarapan untuk dirinya dan Wina, Kayra kembali ke ruang tengah. Ternyata Wina sedang menonton Phineas and Ferb, Kayra pun ikut nonton itu. Mereka sarapan bersama, sambil sesekali tertawa dan bercanda. Senyuman seperti ter-tato di bibir Kayra setiap dirinya sedang bersama Wina.


Di dalam kamarnya, Karin baru saja membuka mata. Saat ia melihat jam, ia langsung terkejut dan berdiri dengan sekejap. Jarum pendek di jam sudah hampir menunjuk ke angka 10.

“Mampus… Gue telat!”

Karin segera berjalan ke arah luar sambil berteriak, “Ih! Kok gaada yang bangunin-”

Ucapan Karin terhenti ketika ia melihat kembarannya sedang tertawa bersama Wina di ruang tengah. Ia merasa… sakit. Dan bimbang.

Di satu sisi, ia senang melihat kembarannya tertawa lepas seperti itu. Namun, di sisi lain, ia sakit hati. Kenapa kembarannya harus seperti itu bersama orang yang ia suka?

Mengesampingkan rasa sakit itu, Karin sedikit berlari menghampiri kedua gadis yang berada di sofa ruang tengah itu.

“Winaaaa!” ujar Karin, seraya menjatuhkan dirinya di sebelah Wina. Tangannya melingkar di tubuh Wina, memeluknya dari samping.

Senyuman Kayra langsung luntur.

“Kenapa ga bangunin gue?” tanya Karin sambil menatap wajah Wina, serta memamerkan senyuman manisnya.

“Gue gaenak, masa ganggu tidur lo.”

Kayra muak. Ia membuang muka, melihat ke arah manapun asal tidak melihat kembarannya yang sedang bersikap 'sok manis' di depan Wina.

“Gajadi kesana?” tanya Karin lagi.

Wina menggeleng. “Kalo dipikir-pikir, sebenernya gapenting juga pertemuan hari ini, ya ga si? Pantes lo mager semalem.”

Karin mengangguk sambil tertawa kecil.

Kemudian Karin berkata, “Eh, mau jalan aja gak?”

Di sisi lain, Kayra berharap Wina menolak ajakan kembarannya tersebut.

“Boleh. Mau kemana?”

Kayra sedikit mendengus.

“Ke Sea World, yuk?” tanya Karin lagi.

Wina mengangguk. “Agak random.. Tapi boleh!”

Kayra menghembuskan napas panjang dan merebahkan dirinya pada sandaran sofa, kemudian memejamkan matanya.

“Ra?”

Mendengar itu, Kayra langsung membuka matanya. Dan saat membuka matanya, kedua netra tersebut bertemu dengan milik Wina.

“U-uhh.. K-kenapa?”

“Mau ikut ga? Gue sama Karin mau ke Sea World.” tanya Wina.

Kayra bimbang. Di satu sisi, ia yakin Karin bakal marah padanya. Tapi di sisi lain, ia tidak rela membiarkan Wina berduaan dengan kembarannya.

Kayra sedikit melirik ke arah Karin, matanya bertemu dengan tatapan tajam dari kembarannya. Kayra tersenyum miring, kemudian menjawab, “Boleh, Win.”

Karin langsung mendengus dan membuang muka.


Perjalanan mereka di Sea World bisa dibilang lancar. Sedikit chaos, tapi masih lumayan lancar.

Karin yang excited melihat kehidupan laut ingin kesana kemari, sedangkan Kayra yang cepet capek minta duduk tiap lima menit. Selain itu, Wina selalu berada di tengah. Tiap Wina jalan di pinggir, salah satu diantara si kembar pasti pindah tempat, karena mau disamping Wina. Wina agak bingung, tapi ia berpikir, emang si kembar begini kali ya?

Setelah mereka sampai rumah dan Wina telah pulang, suasana dirumah mencekam. Situasi cukup menegangkan, mereka tidak mau berbicara, bahkan menatap satu sama lain. Karin langsung masuk kamarnya, tidak lupa membanting pintunya.

Kayra terkekeh, “Manja.”

Tapi setelah ngomong gitu, ia ikut membanting pintu kamarnya juga.

Kayra menghembuskan napas panjang. Ia sedang berdiri di dekat gerbang sekolah, bingung mau pulang naik apa karena Karin belum bisa pulang. Ia mau naik gojek, tapi masih sedikit trauma karena waktu itu pernah mengalami sebuah insiden yg berkaitan dengan abang gojek.

Saat Kayra sedang terdiam sambil berpikir, sebuah suara mengejutkannya.

“Eh, Kayra, ya? Kembaran Kayin, kan?” tanya pemilik suara itu. Kemudian ia tertawa sendiri, sambil bergumam pada dirinya sendiri, “Ya iyalah, orang identik begitu. Pake nanya lagi.” tetapi Kayra masih bisa mendengarnya dan ikut tertawa.

“Wina, kan?” tanya Kayra yang direspon dengan anggukan.

“Belom pulang, Ra? Udah mulai sepi sekolahnya.” tanya Wina.

“Belom, nih. Karin masih ada urusan, jadi gue bingung mau pulang naik apa.” ucap Kayra seraya menghela napasnya.

“Nyetir sendiri?” tanya Wina lagi.

“Gue gabisa nyetir… Lagian kalo kaya gitu, kasian Karin nanti pulangnya gimana.” jawab Kayra.

“Oh iya, ya…” Wina mengangguk-angguk. “Eh gimana kalo pulang bareng gue? Tapi gue naik motor…”

“Emang kenapa kalo naik motor?”

“Ya… Kali aja, lo gamau naik motor gitu.” ujar Wina sambil memainkan ujung kemeja seragamnya.

Kayra terkekeh, kemudian menggeleng. “Ga gitu. Gue mau-mau aja kok.” ucap Kayra sambil tersenyum.

“Asik. Kebetulan juga, rumah kita searah. Eh, rumah lo sama Kayin sama kan ya?”

Pertanyaan terakhir Wina membuat Kayra, dan Wina-nya sendiri juga, tertawa.

“Iya, Win. Rumah kita sama kok.” jawab Kayra ditengah tawa.

Selanjutnya, Wina berjalan menuju parkiran, diikuti Kayra di belakangnya. Namun Wina sengaja menyamakan langkah mereka biar jalan bareng, sekaligus basa basi biar ga sepi.

Walaupun Kayra terlihat normal diluar, sebenernya dia lagi nervous banget. Kayra gapernah naik motor berduaan sama orang lain selain anggota keluarga dan supir ataupun ojek. Wina merupakan 'orang lain' pertama.

Mereka sudah sampai di tempat motor Wina. Sedari tadi, Wina memegangi jaket kulit berwarna hitam. Kayra kira, itu akan dipakai olah dirinya sendiri. Ternyata perkiraan Kayra salah, Wina malah memberikan jaket itu kepada Kayra.

“Loh, kok dikasih gue? Kan itu jaket lo, Win. Pake aja. Lagian lo didepan, langsung kena angin.” Kayra berusaha menolak, karena gaenak.

Wina hanya tertawa, kemudian mengambil tangan Kayra dan memberi jaketnya tadi. “Gapapa, Ra. Nanti lo dingin, keangin-angin gitu. Kan lo biasanya naik mobil. Kalo gue udah biasa, naik motor gini.” ucap Wina.

“Wina-”

“Sstt. Sini, gue pegang dulu tas-nya.”

Akhirnya Kayra menyerah, kemudian memakai jaket milik Wina. Kemudian mereka memakai helm masing-masing dan duduk di jok motor.

Sebelum Wina menginjak gas, ia berkata, “Ra, pegangan. Peluk juga gapapa, daripada lo jatoh, kan. Bahaya.”

Kayra menunduk, ia merasakan pipinya memanas. Tangan Kayra pun melingkar di perut Wina. Namun, Kayra gamau terlalu menempel pada Wina, ia takut Wina dapat merasakan detakan jantungnya yang begitu kencang sekarang.

Selama di perjalanan, mereka sempat mengobrol. Ketika bersama Wina, percakapan mengalir begitu saja, ga awkward sama sekali. Kayra merasa nyaman.

Tidak terasa, mereka telah sampai di depan kediaman keluarga Dinata. Kayra turun dari motor dan mengembalikan helmnya. Senyum masih terlukis di bibir Kayra, dan senyuman itu juga dibalas dengan senyuman dari Wina. Mereka pun tertawa pelan karena sama-sama tersenyum seperti itu.

“Makasih, Wina.” ucap Kayra, masih tersenyum. Wina mengangguk.

“Sama-sama, Ra. Masuk gih” Wina juga masih tersenyum pada gadis di hadapannya.

Sesampainya di kamar, Kayra langsung telentang di kasur dengan cengiran di wajahnya. Jantungnya masih berdegup tidak karuan. “Wina…” gumamnya. Mengucapkan namanya, terasa seperti ada ribuan kupu-kupu yang beterbangan di perut Kayra.

Saat telentang, ia baru saja menyadari bahwa jaket Wina masih memeluk dirinya. Senyuman lebar langsung menghiasi wajahnya lagi.

Yes, ada kesempatan ketemu Wina lagi!

Tak lama setelah Kayra pergi, Wina datang ke kediaman keluarga Dinata.

Karin menyambutnya dengan cengiran lebar dan pelukan. Wina hanya tertawa kecil dan membalas pelukannya. Mereka sama-sama anggota tim basket, jadi sudah kenal. Tapi sebenarnya Karin dan Wina tidak terlalu dekat, emang Karin aja yang super touchy dan friendly jadi main peluk-peluk aja.

Setelah semuanya siap, Karin mengajak Wina ke dapur, tempat mereka memasak.

“Mau masak apa, Kay?” tanya Wina, matanya melihat-lihat seisi dapur keluarga Dinata.

“Gue sih beli bahan buat fettucini carbonara, Win.” jawab Karin, tangannya merapikan bahan-bahan di meja dapur.

“Oh, itumah gampang!” tukas Wina.

Karin memutar bola mata. “Gampang gampang pala lu peyang”

Karin membawa dua apron dan memberi yang satunya pada Wina.

“Ya ampun… Pake apron segala.” ujar Wina seraya memakai apron tersebut.

“Iyalah, biar kaya Masterchef.” ucapan Karin sukses membuat Wina tertawa. “Gak deh. Biar ga kotor, elah. Sayang bajunya ntar.”

Karin sedikit kesusahan saat mengikat tali apron di belakangnya. Saat Karin struggle seperti itu, kedua tangan lain bersentuhan dengan tangannya, membantu dirinya mengikat tali tersebut. Secara tak sadar, senyum kecil terlukis di wajah Karin.

Sekarang Karin sedang memotong sosis. Rambut panjangnya masih menjuntai, bahkan menutupi sebagian wajahnya.

“Kay, rambut lo kan panjang terus baday banget nih. Kalo lagi masak tuh dikuncir gitu kek.” tukas Wina.

“E-eh iya. Maap, lupa.”

Saat Karin hendak menguncir rambutnya, ia tersadar bahwa tangannya kotor. Ia memutuskan untuk cuci tangan dulu, tapi Wina keburu menahannya. Wina mengambil kunciran yang berada di pergelangan tangan Karin dan mulai menguncir rambut lebat gadis tersebut.

“Gue aja yang kuncirin, mumpung tangannya masih bersih. Lanjut lagi, gih.” ujar Wina.

Secara tak sadar, Karin tersenyum lagi. Dan secara tak sadar juga, jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Terutama saat tangan Wina tidak sengaja mengenai lehernya, bulu kuduk Karin berdiri.

Mereka menghabiskan siang itu dengan memasak sambil bercanda dan tertawa. Tak lupa, Karin memutar lagu agar suasananya makin ramai. Senyum hampir tidak pernah hilang dari bibir Karin.


Hari sudah mulai malam, temen-temen Karin pun sudah pada pulang. Karin sedang mencuci piring sambil menggumamkan lagu secara random. Saat sedang asik, tiba-tiba ada kedua tangan dari samping, memegang kedua lengan Karin. Gadis yang lengannya dipegang itupun sontak menengok untuk melihat pelakunya.

“Loh, Wina? Belom pulang?” tanya Karin. Wina hanya membalas dengan gelengan, ditambah kekehan kecil.

“Udah, gue aja yang nyuci, Kay.” ujar Wina. Ia mengambil handuk dan mengelap tangan Karin yang ia pegang barusan, kemudian menggeser tubuh Karin dan menggantikan posisinya.

“Dih, enggak, Win. Ini kan rumah gu-”

“Gapapa. Lo beresin ruang tengah aja, gih. Urusan gampang, cuci piring mah.” ucap Wina.

“Tapi Win-”

Wina menatap Karin tepat di matanya. Mengulas senyum, kemudian berkata, “Gue aja, Kayin. Lo beresin yang lain aja.”

Karin seperti terhipnotis. Setelah Wina berkata seperti itu ia langsung menurutinya, membalikkan badan dan berjalan menuju ruang tengah.

Sampai di ruang tengah, Karin terduduk di sofa. Tiba-tiba ia merasakan rahangnya yang sedikit pegal, kemudian tersadar jika ia menyengir sejak tadi.

“Anjir, kok gue nyengir…” ucapnya pada dirinya sendiri sambil memegang rahangnya.

Kemudian ia juga merasakan jantungnya berdegup lebih kencang, tangannya ditempatkan di dadanya sehingga ia benar-benar merasakan jantungnya yang berdegup-degup.

“Anjir, kok gue deg-degan…”

Karin merebahkan tubuhnya di sandaran sofa. Kemudian menutup mata. Saat ia menutup mata, bayang-bayang seorang gadis tiba-tiba muncul di pikirannya. Ia pun langsung membuka matanya, duduk tegak, dan menutup mulutnya tidak percaya. Ia baru saja menyadari sesuatu.

“Apa jangan-jangan gue suka sama Wina?!”

“Kayya, udaah?”

“Dah, yuk.”

Kayra memakai seatbelt kemudian merapikan barang-barangnya, sedangkan Karin menancap gas. Kayra telah memberikan dokumen yang dimaksud kepada temannya, sekarang mereka mau jalan pulang.

“Eh, Kay, ke McD dulu. Drive-thru, ya.” ujar Kayra, yang direspon dengan anggukan dari Karin.

Setelah sampai di Drive-thru McD, Kayra langsung memesan, sedangkan Karin sibuk dengan ponselnya. Ia sebenernya berencana untuk diet, makanya main hp biar diem gaikut mesen.

Usai memesan dan membayar, mereka turut mengantri sebelum menerima pesanan barusan. Kebetulan, masih ada beberapa mobil di depan mereka. Daripada mobilnya hening, Karin pun membuka suara. “Eh, Ra. Masa kemaren gue baca AU-”

“Dih anjir, baca AU homo mulu lu kerjaannya.” celetuk Kayra yang dihadiahi tonjokan pelan dari Karin.

“Daripada lo, anime mulu anjir. Lariii ada wibuu!!” Kayra pun memperlakukan Karin sama seperti Karin memperlakukannnya barusan, menonjoknya pelan.

“Udah ah gue mau cerita. Jadi di AU-nya tuh ada karakter yang sodaraan gitu, terus ga pernah akur mulu gitu deh. Puncaknya pas mereka sama-sama suka orang yang sama. Buset, berantemnya…” Karin bercerita dengan semangat, tangannya ikut bercerita juga, memperagakan ini-itu. Kayra memposisikan badannya sehingga ia menghadap Karin. “Gue jadi mikir, gue bersyukur deh… Kita gapernah berantem yang bener-bener berantem gitu. Apalagi suka orang yang sama. You're basically asexual aromantic anjir, pernah suka sama orang ga si lo?!”

Satu pukulan pelan mendarat di pundak Karin. “Ya pernah, lah! Tapi gue ga bilang lo. Soalnya lo bacot.”

Karin menatap Kayra seakan ia tersinggung, “Ih kok lo gitu sih? Gue aja ngasihtau tiap gue punya gebetan atau pacar… I feel betrayed, Twinnie.

“Gebetan lu aja gonta ganti tiap minggu kali. Lagian lo juga mana bisa nutup mulut? Nyerocos mulu itu cocotmu.”

“Ya! Bukan salah gue kalo ada banyak orang yang deketin gue. Eh kebetulan, gue-nya baper. Jadi… Gitu.” Karin berusaha menjelaskan.

“Iya deh, iya.” ujar Kayra, memutar bola matanya. “Nah tuh kan, pantes aja kita jarang berantem, orang gue ngalah mulu. Lu manja.” ujar Kayra sambil tertawa, terutama karena melihat wajah kembarannya yang menunjukkan ekspresi sok marah.

“Gue pernah ngalah, ya! Waktu kelas 2 SMP, kita sekelas, dan gue ngalah biar lo dapet ranking 1.” Karin menyilangkan tangan di depan dadanya, kemudian tersenyum bangga. Kayra menggeplak kepalanya.

“Dih, itumah lo-nya aja yang bego!” ujar Kayra, tentunya bercanda. Karin pura-pura ngambek.

“Heh, gue ga ranking 1 juga dapet ranking 2, ya!” bela Karin. “Waktu itu juga gue lagi sibuk basket sama OSIS, sedangkan lo OSIS doang. Lagian ya, mana bisa ada dua orang yang ranking 1 dalam satu kelas?”

Gelak tawa terdengar dari mulut kedua perempuan kembar tersebut. Setelah tawanya mereda, Karin berbicara lagi, kali ini sedikit pelan. “Tapi, kayanya buat Mama Papa tuh, ranking 1 or nothing, ya? Pas itu gue diomelin, Ra. Gatau lo denger atau ngga.”

Kayra menatap Karin sedih. “I'm sure kalo gue yang dapet ranking 2 gue juga digituin, Rin.”

“Masa sih? Gue ga yakin, ah. Kayanya lo gapernah diomelin sampe bener-bener diomelin sama Mama Papa. Gue sering…” protes Karin.

“Ya.. Gimana ya, Rin. Gue kan kalo diomelin diem, terus iya-iya aja. Lo pernah liat diri lo sendiri pas diomelin ga sih? Jujur, muka lo nyolot banget, nantangin gitu. Mana suka ngejawab. Gimana orang ga makin emosi.” jawab Kayra jujur. Karin menunduk malu.

“Emang iya, ya, Ra?” Kayra hanya meresponnya dengan memutar bola matanya.

Pesanan mereka sudah selesai, Karin langsung mengambilnya dan memberikannya pada Kayra. Saat Karin bersiap menjalankan mobil lagi, satu cup McFlurry ditempatkan di pangkuannya.

“MCFLURRY???” ucap Karin dengan mata berbinar. “Tapi perasaan gue ga pesen?”

“Iya, gue pesenin tadi. Gue tau itu kesukaan lo.” jawab Kayra yang sedang sibuk dengan jajanannya.

“Padahal gue niatnya mau diet…”

Mendengar kata 'diet', Kayra langsung berhenti dari kegiatannya. “Apa lo bilang? Diet? Fuck, lah, Kay. Badan lo udah bagus, lo juga sehat. Buat apa lagi?” Kayra nyerocos, matanya menatap Karin tajam.

Namun, yang diomelin bukannya takut, malah menatap Kayra terharu. “Kayya… Kenapa lo jadi kembaran gemes banget sih? Gue jadi makin sayang nih.” ucap Karin sambil mendekat ke arah Kayra dan merentangkan tangan untuk memeluknya.

“Anjir, Rin, ah. Najis lu. Lu demen ama gue ya?!” protes Kayra, menjauhkan Karin dengan cara mendorong jidatnya.

“Iya, Kayya. Kayin insect nih.” goda Karin.

Incest, anjir.”

“Eh, speaking of insect… Kan kita kembar juga tuh kaya Connell Twins, kita ga mau bikin onlyfans juga?”

Satu pukulan dari Kayra melayang ke kepala Karin.